Review Lonely Castle in the Mirror: Film vs Buku, Adaptasi Memukau dari Kisah Emosional nan Magis

Japanese Film Festival 2023 turut memutar anime movie adaptasi novel best-seller, Lonely Castle in The Mirror, untuk pertama kalinya di Indonesia.

Lonely Castle in the Mirror kagami no kojou JFF
FOTO: QooApp

Membuat review Lonely Castle in the Mirror setelah menontonnya dalam gelaran Japanese Film Festival 2023 seakan tidak lengkap tanpa menyinggung novelnya.

Oleh karena itu, penulis membutuhkan waktu menyelesaikan novel 493 halaman tersebut usai menonton filmnya di JFF 2023 Jakarta pada Minggu (05/11).

Sebelum me-review Lonely Castle in the Mirror lebih jauh, mari kita berkenalan lebih dulu dengan filmnya!

Tentang Film Lonely Castle in the Mirror

Lonely Castle in the Mirror atau dalam bahasa Jepangnya Kagami no Kojou diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Mizuki Tsujimura.

Film berdurasi 116 menit ini diproduksi oleh studio A-1 Pictures serta tayang mulai 23 Desember 2022 lalu di Jepang.

Hingga kini, film tersebut belum tayang di Indonesia kecuali dalam JFF 2023, itu pun dengan takarir bahasa Inggris.

Berdasarkan unggahan Instagram Japanese Film Festival, tampaknya lisensi film ini dipegang oleh Muse Indonesia sehingga ada kemungkinan film ini akan diputar dalam media tertentu suatu hari nanti.

Film ini disutradarai oleh Keiichi Hara serta menampilkan sejumlah seiyu, yakni Ami Touma (Kokoro), Takumi Kitamura (Rion), Sakura Kiryu (Aki), Yuki Kaji (Ureshino), Kumiko Aso (ibu Kokoro), serta Aoi Miyazaki (Bu Kitajima).

Japanese Film Festival mendeskripsikan film ini sebagai berikut:

Tujuh remaja menemukan bahwa cermin di kamar mereka adalah sebuah portal, dan mereka ditarik dari kehidupan mereka yang kesepian ke sebuah kastel menakjubkan yang penuh dengan tangga berliku dan potret yang mengawasi. Seorang anak perempuan dengan topeng serigala mengajak mereka untuk bermain.

Berkenalan sudah. Sekarang mari lanjut pada review Lonely Castle in the Mirror!

Anak-Anak SMP yang Tidak Bisa Bersekolah

“Tujuh remaja” dalam deskripsi JFF itu adalah Kokoro, Aki, Fuuka, Masamune, Subaru, Ureshino, dan Rion.

Seluruhnya adalah murid SMP dengan enam di antaranya tidak bisa lagi bersekolah.

Lonely Castle in the Mirror mengangkat kisah ketujuh anak tersebut. Mereka yang sama-sama terluka dipertemukan dalam sebuah kastel misterius nan magis.

Film ini merupakan sejenis pengingat bahwa di balik remaja pada umumnya yang bersekolah, ada beberapa yang tidak bisa lagi melakukannya.

Dan bahwa itu tidak apa-apa. Yang terpenting adalah bagaimana orang di sekitarnya maupun orang yang berkepentingan menyikapi hal itu.

Contohnya ibu Kokoro. Pada mulanya dia digambarkan seperti orang tua pada umumnya yang kesal serta kecewa karena putrinya tiba-tiba mogok sekolah dengan alasan konyol, sakit perut tiap hari.

Akan tetapi, lambat-laun ibu Kokoro mulai berusaha melihat sisi lain dari putrinya.

Bahwa, pastinya, ada hal lain yang membuat putrinya tiba-tiba bersikap demikian dan itu bukan salah Kokoro.

Sosok ibu Kokoro seakan menggambarkan sikap orang tua di dunia nyata tentang bagaimana mereka bersikap dan bagaimana seharusnya menyikapi kondisi tersebut.

Namun, luka dan penyembuhan Kokoro tidak serupa dengan enam remaja lainnya. Beruntungnya–atau sialnya–di kastel itu, Ratu Serigala menjanjikan pengabulan permohonan jika siapa pun menemukan sebuah kunci.

Kedengarannya sepele. Jika saja kunci itu tak kunjung ditemukan dan bahwa hanya satu permohonan anak yang dapat dikabulkan.

Review Lonely Castle: Duo Penggerak Alur Cerita

Tampaknya, misteri adalah salah satu magnet utama untuk membuat penonton bertahan hingga menyaksikan akhir pemungkas film ini.

Sebab, sejak awal, semuanya serba misteri. Mengapa cermin Kokoro, tokoh utama kita, bisa bersinar dan membawanya ke kastel ala-ala fantasi tersebut?

Siapa sebenarnya sang Ratu Serigala? Apa yang tersembunyi di balik topeng serigalanya? Bagaimana kastel ini bisa terbentuk?

Lalu mengapa mereka? Mengapa hanya tujuh anak ini yang bisa memasuki kastel? Siapa sebenarnya mereka semua?

Kemudian, emosi juga turut andil dalam mengacak perasaan penonton. Mulai dari kesedihan, kemarahan, kebingungan, kekecewaan, hingga haru.

Semuanya berbaur menjadi satu dalam adegan demi adegan yang menyentil hati mengenai konflik internal tokoh-tokohnya.

Oleh karena itu, bagi penulis yang lebih menyukai genre aksi, alur film Lonely Castle in the Mirror sendiri cenderung lambat.

Cerita film terbagi berdasarkan bulan sejak anak-anak datang ke kastel hingga batas akhir waktu mereka di kastel.

Selama waktu-waktu tersebut, penonton disuguhi hal yang bagi penulis cenderung serupa: rahasia yang pelan-pelan terkuak, konflik yang muncul, lalu selesai.

Cerita baru bereskalasi di bulan terakhir di kastel, utamanya setelah sebuah kejadian tak terduga terjadi.

Visualisasi Karakter yang “Melompat” dari Novel

Novel Kastel Terpencil di Dalam Cermin karya Mizuki Tsujimura Lonely Castle in the Mirror
Kover novel Kastel Terpencil di Dalam Cermin, versi Indonesia dari Lonely Castle in the Mirror | FOTO: @ gramedia | EDIT: Fida Zalfa L.Y.

Sebagai sebuah “media visual”, Lonely Castle in the Mirror berhasil mengangkat karakter, latar, serta atmosfer dari novelnya dengan apik ke layar kaca.

Penulis yang menonton film terlebih dahulu sebelum membaca sumber aslinya awalnya merasa canggung dengan beberapa penggambaran yang terasa berlebihan.

Namun, setelah membaca novelnya, penulis menyadari memang itulah yang Mizuki Tsujimura deskripsikan.

Dalam hal karakter, contohnya adalah suara Ratu Serigala (atau dalam novelnya, Dewi Serigala).

Awalnya penulis merasa suaranya aneh, terlalu lantang dan seolah salah tempat. Namun, suara itu cocok dengan deskripsi Dewi Serigala di novel.

Berikutnya ada suara Kokoro yang lembut dan polos sebagai anak baik hati, Ureshino yang imut-imut, Bu Kitajima yang penuh kesabaran, dan Fuuka yang, “Saat sudah terbiasa mendengarnya, ternyata satu per satu pelafalan ucapan dengan suara melengkingnya terdengar sangat merdu”.

Tak hanya suara, penampilan karakter pun juga. Salah satunya Rion ditampilkan dengan kulit menggelap yang serasi sebagai bentuk kegiatan sepak bolanya.

Akan tetapi, detail bahwa gaun Ratu Serigala selalu berubah setiap kali kemunculannya tidak divisualisasikan dalam film ini.

Meski demikian, penampilan Ratu Serigala dengan gaun ala dongeng sesuai dengan deskripsi novel.

Kemudian, sebenarnya penulis agak kebingungan bahwa di novel Subaru dideskripsikan mirip dengan Ron Weasley dari Harry Potter (emoji berpikir).

Review Lonely Castle: Latar yang Memukau

Dalam hal latar cerita, film Lonely Castle in the Mirror berhasil menghidupkan baik latar tempat maupun latar suasana.

Kastel bergaya Eropa ditampilkan dengan megah dan berkesan.Bahkan, ditambahkan detail berada di tengah laut.

Ruangan di dalamnya pun tervisualisasikan dengan apik sehingga dapat memberi gambaran penuh bagi yang membaca novelnya.

Tak kalah ikonik adalah ketika adegan film menyorot ke kastel untuk pertama kalinya, diperdengarkan lagu epik bergaya abad pertengahan.

Soundtrack yang diperdengarkan di sepanjang filmnya pun mampu meningkatkan permainan suasana di tiap-tiap adegan.

Akan tetapi, sama seperti film And Yet, You Are So Sweet, favorit penulis tetap lagu tema film ini, yakni Merry-Go-Round oleh Yuuri yang pemutarannya pada akhir film membuat penulis merasa sesak.

Selain itu, ada beberapa adegan dalam film yang terasa lebih kuat dibandingkan novelnya.

Antara lain adegan saat rumah Kokoro “digedor” oleh tetamu, ketika Kokoro berteriak di UKS mencari teman-temannya, ketika Kokoro menangis saat menceritakan lukanya kepada Fuuka dan Aki hingga ketika “mantan” sahabatnya mencueki Kokoro secara terang-terangan.

Akan tetapi, yang paling membekas di benak penulis adalah adegan saat kastel gelap gulita dan berantakan di bagian akhir film.

Saat itu untuk pertama kainya dalam pemutaran film penulis merasa ketakutan bak menonton film horor (haha!).

Kata Tim Clover tentang Adaptasi Ini

Nobar Clover Lonely Castle in the Mirror
Tim Clover bersama penonton terpilih dalam acara nobar film Lonely Castle in the Mirror di JFF 2023 Jakarta | FOTO: @ Instagram / penerbitclover | EDIT: Fida Zalfa L.Y

Penulis berkesempatan mewawancarai penerbit Clover yang menerbitkan novelnya ke bahasa Indonesia dengan judul Kastel Terpencil di Dalam Cermin mengenai review Lonely Castle ini.

“Plotnya hampir semuanya lengkap, tapi kalau di buku lebih detail, jadi lebih ngerasain perasaannya Kokoro,” tutur Sasha, editor Clover. “Kan dia (Kokoro) kaya kasihan banget, di-bully dan sebagainya. Kalau di novel itu lebih jelas bagaimana sedihnya Kokoro.”

“Kalau di film itu, kan, hubungannya sama durasi.” Vera, Chief Clover menambahkan. “Jadi, emosinya Kokoro muncul di situ, tapi hanya sebentar. Waktu di-bully, diejek teman-temannya karena dianggap pengkhianat itu (memang) disebutkan, tapi cuma sekilas. Padahal kalau di bukunya lebih luas lagi.”

Vera turut memaparkan bahwa beberapa waktu yang lalu m&c!, “induk” dari imprint Clover sempat bertemu dengan penulis Lonely Castle, yakni Mizuki Tsujimura.

“Kami m&c! sempat membawa buku versi Indonesianya ke depan penulisnya langsung,” cerita Vera. “Waktu melihat versi Indonesianya, penulisnya suka sekali dengan ilustrasi (kovernya), jadi sangat memuji ilustrasi di novel versi Indonesianya,” tambahnya, menyebut nama sang ilustrator, Zacky Hudaya.

Meski demikian, walau memboyong Lonely Castle dari Poplar Publishing di Jepang ke Indonesia hampir tidak ada kesulitan, menerjemahkannya perlu usaha ekstra.

“Buku yang kami dapet tebel banget waktu itu,” ujar Sasha. “Setelah diterjemahkan halamannya bengkak, jadi waktu itu ngeditnya harus bener-bener dipadatkan.”

Proses penerbitan novel Kastel Terpencil di dalam Cermin pun sempat mengalami kemunduran yang tidak sebentar lantaran pandemi.

Namun, uniknya, perilisannya menjadi hampir berbarengan dengan tayangnya film Kagami no Kojou di Jepang.

“Sampai saat ini bukunya masih banyak yang cari, termasuk salah satu best seller-nya Clover juga,” tutur Vera.

Vera dan Sasha pun tak lupa untuk mengajak NawaReaders membeli novel Kastel Terpencil di dalam Cermin. Tentunya, versi resminya.

“Karena itu juga membantu penulis aslinya di sana (Jepang),” pungkas Sasha.

Detail Baru yang Ekskusif dari Film

Penulis pribadi setuju dengan review Lonely Castle dari tim Clover bahwa sebagai film, salah satu hal yang perlu diperhitungkan adalah durasi.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada adegan-adegan baru yang tidak ada di novel dihadirkan dalam film untuk membuat jalan cerita menjadi lebih berkesan.

Berikut adalah beberapa adegan yang hanya ada di versi film Lonely Castle in the Mirror, menurut review penulis:

SPOILER ALERT

1. Kotak musik di “ruang berkumpul”. Sejak adegan tidak ada yang bisa membuat kotak musik tersebut menyala hingga Rion menunjukkan cara menggerakkannya kepada Kokoro, adegan tersebut tidak ada di novel.

2. Ketika Aki hampir dilecehkan oleh ayah (tirinya), versi novelnya mengisahkan Aki terduduk di sofa hingga Kokoro datang, disusul oleh anak-anak yang lain. Dalam versi film, Aki muncul di depan cermin dalam posisi duduk dengan kaki “W”, ketakutan, dengan disaksikan oleh hampir semua anak yang hadir. Ekspresi Aki dalam film tersebut membuat penulis bisa menebak dia korban pelecehan. Penulis pribadi merasa versi film untuk adegan ini lebih emosional.

3. Di film, Kokoro membawa ilustrasi berbingkai Serigala dan Tujuh Anak Domba yang dipinjamnya dari Moe. Namun, di novel, Kokoro membawa novel Serigala dan Tujuh Anak Domba itu sendiri yang tetap dipinjamnya dari Moe.

4. Ketika Aki melanggar aturan “jam malam” kastel dan anak-anak lain selain Kokoro terseret hukuman, diperlihatkan sosok serigala yang melahap mereka. Akan tetapi, serigala besar dari api itu membuat adrenalin penulis merosot sebab terlihat sangat tidak normal dan tidak menakutkan. Di novel, sosok serigala pelahap tersebut tidak pernah ditunjukkan. Sebaliknya, novel menyatakan bahwa Dewi Serigala-lah yang berubah menjadi serigala pelahap, tetapi wujudnya sebagai serigala pelahap tidak pernah dideskripsikan.

5. Perjalanan Kokoro menuju Kamar Permohonan ditunjukkan secara rinci. Mulai dari Kokoro menaiki anak tangga yang tiba-tiba menghilang, masuk ke dalam “jam”, melihat banyak pantulan dirinya, hingga melihat kenangan anak-anak lain. Di novel, adegan langsung melompat pada Kokoro yang sekonyong-konyong berada di Kamar Permohonan tempat Aki berada dan menarik gadis itu dibantu anak-anak lainnya.

6. Versi film menegaskan bahwa Subaru Nagahisa adalah Profesor Nagahisa, pembuat gim terkenal yang digandrungi Masamune.

Detail yang Terlewatkan dari Novel

Tentunya, jika ada beberapa adegan yang ditambahkan, ada pula adegan dari novel yang terlewat. Adegan tersebut antara lain:

1. “Ruang gim”

Dalam versi novelnya, Masamune tidak hanya membawa konsol gim mini melainkan juga TV berukuran besar yang dilengkapi kontroler untuk dimainkan bersama anak lainnya, terutama Subaru. Di sini pun terungkap bahwa Kokoro jago bermain gim hingga diakui Masamune.

2. Kokoro keluar untuk belanja

Novel Lonely Castle mengisahkan tentang ulang taun Fuuka. Karena Aki bahkan Ureshino memberi gadis itu hadiah, Kokoro pun tergerak untuk membeli kado juga.

Maka, untuk pertama kalinya sejak meliburkan diri dari sekolah, Kokoro keluar dari rumahnya dan pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Misinya membeli kado untuk Fuuka kado berhasil, tetapi Kokoro yang masih ketakutan bertemu orang lain menyelesaikan acara belanja itu dengan tergesa-gesa.

3. Kue Rion berantakan

Penulis cukup terkejut ketika membaca deskripsi di novel bahwa kue natal buatan ibu Rion itu “dilapisi krim yang terlihat tidak rapi. Hiasan buahnya tidak beraturan.”

Sebab seingat penulis, kue ibu Rion di film terlihat cukup rapi–membuat ngiler malah karena buttercream-nya yang menggoyang lidah serta buah segarnya.

Padahal, kenyataan bahwa kue itu tidak rapilah yang menjadi petunjuk konflik Rion.

4. Bagian akhir yang berpacu

Namun, perbedaan terbesar adalah di bagian akhir, puncak dari seluruh masalah sekaligus resolusi pemungkas.

Pada versi filmnya, Kokoro menyadari jawaban misteri Ratu Serigala dari ilustrasi Serigala dan Tujuh Anak Domba alih-alih mengetahuinya dari Rion seperti di novel.

Versi novelnya pun menjelaskan lebih detail mengenai kisah Serigala dan Tujuh Anak Domba serta petunjuk yang selama ini Ratu Serigala “bocorkan”.

Bahwa gadis cilik itu hanya berpura-pura menjadi Serigala dari dongeng Gadis Kecil Berkerudung Merah padahal,

“Dongeng yang menampilkan sosok serigala bukan hanya ‘Si Kerudung Merah’.”

Akan tetapi, yang paling membingungkan penulis adalah fungsi tanda silang. Di novel, tanda silang itu digunakan Kokoro untuk bersembunyi dari serigala pelahap hingga mencapai jam besar, tempat kunci berada.

Sebagai tempat persembunyian enam anak domba dalam dongeng, tempat tersebut pun melindungi Kokoro. Dan sebagai tempat keenam kawannya “dikubur”, tanda silang itu membuat Kokoro dapat melihat kenangan serta masa lalu mereka.

Oleh karena itu, Kokoro mengetahui konflik masing-masing anak. Detail yang lebih banyak dan menyedihkan pun dihadirkan dalam versi novelnya.

Contohnya Fuuka, yang tinggal dalam keadaan susah karena ibunya fokus mengembangkan bakat spesial Fuuka pada piano, “Sampai kapan?”

Lalu Rion yang dideskripsikan makin terpojokkan oleh ibunya hingga menyimpulkan, “Ibu ingin aku berada jauh darinya.” saat disodori sekolah di Hawaii.

Akan tetapi, di film, Kokoro menghampiri semua tanda silang seakan hanya untuk mencocokkannya dengan lokasi persembunyian para anak domba dalam Serigala dan Tujuh Anak Domba. 

Novel juga menceritakan lebih jelas bagaimana sosok kakak Rion, Mio, menjadi sang Dewi Serigala.

“Awalnya, aku berpikir mendiang kakak perempuanku akan datang menemuiku di sini. Tapi, setelah menyadari jarak waktu ini, akhirnya aku tahu. Bahwa kakak, pasti terus datang ke sini dari kamar rumah sakit itu. Sekarang pun, kenyataan Kakak itu ada di dalam kamar rumah sakit saat aku berusia enam tahun, bukan? Jadi, setahun terakhir hidupmu, Kakak habiskan bersama kami semua di dalam rumah boneka ini, ya?”

“…Kalau benar ini yang terakhir, maukah Kakak mendengarkan satu lagi permohonanku?”

END OF SPOILER

Bisa Ditonton Tanpa Baca Bukunya

Lonely Castle in the Mirror Indonesia
Kokoro (kanan), Dewi Serigala (kiri), dan enam bayangan sosok (tengah) dalam kover novel Kastel Terpencil di Dalam Cermin, versi Indonesia dari Lonely Castle in the Mirror | FOTO: @ gramedia | EDIT: Fida Zalfa L.Y.

Jangan khawatir, film Lonely Castle in the Mirror tetap bisa ditonton tanpa membaca bukunya terlebih dahulu, kok. Sama seperti yang penulis lakukan.

Akan tetapi, jika NawaReaders ingin lebih meresapi cerita tersebut, tidak ada salahnya membaca novelnya baik sebelum maupun sesudah menonton film.

Menutup review Lonely Castle in the Mirror kali ini, penulis akan mengulas versi novel yang diterjemahkan oleh penerbit Clover dalam artikel terpisah.

Adapun bagi NawaReaders yang telah membaca novelnya, menonton filmnya juga jangan terlewatkan!

Sebab meskipun memiliki beberapa perbedaan, versi filmnya ini berhasil menghanyutkan serta menghidupkan adegan demi adegan dari novel.

Itulah review Lonely Castle in the Mirror dari penulis. Film ini utamanya cocok bagi NawaReaders yang menyukai genre drama dengan bumbu fantasi plus misteri.

Selain di Jakarta, dalam JFF 2023 film ini juga akan tayang di Makassar dan Bandung juga, lho!

Apakah NawaReaders tertarik menontonnya? Bagaimana review Lonely Castle in the Mirror versi kalian?


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.