Review Film BLUE (2021): Tinju is Love, Tinju is Live.

Film bertema tinju ini berhasil membuka mata penonton akan realita hidup petinju, termasuk pengorbanan, dan jurang antara passion dan talenta yang mereka miliki.

review film blue jff 2022 indonesia Japanese Film Festival Boxing
FOTO: © 2021 "BLUE" Film Partners

Usai dengan film Anime Supremacy, kali ini saya akan melakukan review untuk film Blue (2021) yang juga tayang di perhelatan Japanese Film Festival 2022 Indonesia.

Yang pertama kali saya dipikirkan ketika menonton film bertema tinju tentu saja adanya perkara antara ‘si jago’ melawan ‘si jahat’. Uh… Entahlah, apakah itu sebutannya underdog atau dark horse? Namun itulah istilahnya.

Biasanya, film bertema demikian lebih fokus ke karakter utama yang berusaha agar menjadi petinju terbaik. Sejujurnya, membaca premis film Blue (2021) membuat saya agak ragu mengulasnya.

Film tinju ini mau bercerita soal apa? Untungnya kekhawatiran saya bisa langsung ditepis, dan saya dapat ‘mengunyah’ alias melakukan review secara baik film Blue dengan tema tinju, dan cerita yang tidak biasa ini. 

Review film ini rasa-rasanya kurang lengkap, jika tidak menceritakan bagian penting dari filmnya. Jadi SPOILER ALERT untuk yang belum menonton. Sempatkan waktu kalian untuk menonton film ini, lalu kembali membaca ulasan berikut ini. 

SPOILER ALERT

Tiga Karakter, Kisah, dan Tujuan: Sinopsis Film Blue (2021)

Kalian bisa menyaksikan trailer film Blue (2021) melalui pranala berikut.

Film Blue (2021) dimulai dengan 3 (tiga) karakter yaitu Nobuto Urita, seorang instruktur tinju di sebuah sasana, lalu ada Kazuki Ogawa seorang petinju yang bertalenta dan jago. Lalu terakhir ada Tsuyoshi Narazaki, yaitu seorang pegawai pachinko yang ingin berlatih tinju, hanya karena ingin tidak terlihat bohong di depan orang yang dia sukai. 

Kita diperkenalkan karakter Urita, yang mana dia seorang petinju yang bisa dibilang kurang begitu bagus sebagai seorang atlet karena memiliki rekor 2-10. 2 kali menang 10 kali kalah berturut-turut. Urita selalu dibicarakan oleh rekan sesama sasana tinju tempat dia berlatih atas rekor tersebut. Tetapi, dia tetap saja berlatih dan menjadi instruktur bagi para petinju amatir.

Ogawa, yang merupakan teman Urita, adalah petinju yang dijagokan oleh sasana Gym tinju tersebut, dan diharapkan dapat berkesempatan untuk bertarung dengan gelar juara. Hanya saja, dia mempunyai masalahnya sendiri yaitu menderita Dementia.

Dementia bukan merupakan penyakit, tetapi semacam kejadian yang dipengaruhi oleh fungsi otak dimana ia akan mempengaruhi kegiatan sehari-hari seseorang seperti kesulitan mengingat, kesulitan membaca, tetiba lupa akan sesuatu merupakan ciri dari dementia. Ogawa, meskipun tahu resiko atas olahraga yang dia tekuni, Ia tetap tidak berhenti karena cita-citanya ingin menjadi juara adalah nomor satu, bahkan pacarnya sendiri, yakni Chika cukup sulit untuk membujuknya berhenti. 

Kesan dari paruh pertama saya melakukan review film Blue (2021) ini adalah dikenalkannya 3 karakter pada olahraga tinju dengan tujuan yang jelas, kecuali 1 orang, yaitu Urita. Kita hanya melihat seberapa gigihnya dia dalam menjadi seorang petinju, seakan diberi harapan bahwa mungkin kita akan melihat kemenangan pertama dari Urita setelah rekor kalah yang cukup banyak secara beruntun.

Ogawa semakin sering merasakan sakit kepala akibat bertahun-tahun menjalani pertandingan tinju. Tentu saja, hal paling ditakutkan adalah cedera kepala utamanya, atau trauma kepala, yang mengakibatkan Dementia milik Ogawa semakin menjadi-jadi. Karena itu, Chika kemudian meminta tolong Urita agar mau membujuk Ogawa untuk berhenti tinju.

Sayangnya, menyuruh orang berhenti tidaklah semudah itu. Bahkan jika Urita sendiri yang menyuruhnya, omongan dia tidak akan didengar. Chika melemparkan pertanyaan. “Jika kamu mengalami insiden seperti Ogawa, apa kau akan berhenti juga?” Urita dengan tegas menjawab “Iya, aku bisa”.

Apalagi ditambah ada pertaruhan memperebutkan gelar kompetisi. Urita menegaskan lagi bahwa jika pertandingannya dengan pertaruhan seperti itu sudah pasti apapun dilakukan demi impian tersebut. 

Sudut pandang film ini kemudian berpindah lagi ke Narazaki, yang sebelumnya kita tahu bahwa keinginannya untuk menekuni olahraga tinju hanya untuk hal remeh, yaitu bisa dilirik cewe di tempat kerjanya. Secara menakjubkan, Narazaki berhasil mendapatkan lisensi profesional, meskipun offscreen dan sempat diledek kalau tidak mungkin orang seperti Narazaki akan lulus tes lalu mendapatkan lisensi.

Salah satu rekan di Gym-nya merasa tidak terima bahwa Narazaki bisa lulus tes. Karena secara kemampuan, dia lebih baik dari Narazaki dan lebih dahulu berlatih di Gym tersebut ketimbang Narazaki. Ketua Gym menegaskan, bahwa untuk mendapatkan lisensi profesional bukan hanya membutuhkan insting bertinju saja.

Dibutuhkan tehnik dasar dalam bertinju yang harus kuat, yang menjadi penilaian utama dalam tes lisensi profesional tersebut. Orang yang protes ini merasa bahwa berlatih dengan instruktur Urita seperti tidak ada gunanya, karena untuk apa terus-terusan berlatih diajarkan sama orang yang 10 kali kalah berturut-turut? Namun Urita dengan santainya bilang kalau memperkuat tehnik dasar dalam tinju adalah sebuah keharusan. 

Adegan kemudian berpindah ke Ogawa, yang sepertinya efek dari bertahun-tahun menekuni olahraga tinju dan tumpukan beban dikepalanya sudah mulai mempengaruhi aktifitas sehari-harinya. Mulai dari pekerjaan yang tidak lancar, mengakibatkan kecelakaan sampai dimarahi oleh senior. Hanya saja dia tidak memberitahukan kondisi dia, dan mengapa Ia mengalami kecelakaan kerja. Bahkan, Urita sendiri tidak diberitahu.

Kembali ke Gym, suasana masih terlihat tidak enak dengan menumpuknya rasa frustasi si rambut merah karena masih dengki atas berhasilnya Narazaki dalam mendapatkan lisensi profesional. Ia kemudian memprotes Urita, kalau orang seperti narazaki saja bisa lulus tes dan mendapatkan lisensi profesional maka semua orang disini bisa dengan mudah mendapatkannya.

Urita hanya bisa bilang bahwa kemampuan dasarnya masih lemah, meskipun secara kekuatan cukup bagus. Entah apa yang ada dipikiran Narazaki, namun tiba-tiba saja Narazaki buka suara dan menawarkan diri untuk menjadi lawannya si rambut merah ini. Kesannya seperti membuktikan kalau lulus tes tersebut bukan kebetulan. Mereka akhirnya bertanding. Dan tidak diduga, Narazaki berhasil menang dengan baik. Tapi lawannya justru mengalami kejang-kejang, sampai harus dibawa ke rumah sakit.

Pemilik Gym kemudian menelpon kedua orang tua Doguchi (Aduh baru inget namanya!). Pemilik Gym tidak menyangka kalau pertandingan itu saja bisa beresiko hingga kejang. Keesokan harinya, Urita dan Narazaki menjenguk Doguchi. Narazaki meminta maaf atas hasil dari kegiatan sparring mereka, tetapi dia cuma berkilah dengan berkata “Mukamu kenapa sedih begitu?”.

Narazaki cuma bisa menangis, padahal Doguchi cuma berkata “Ya sudah, kamu lanjut bertinju buatku juga”. Urita hanya bisa menyemangati Narazaki bahwa semua akan baik-baik saja. 

Tiga Karakter Penuh Konklusi dalam Film Blue

Setelah lebih dari 6 bulan berlatih tinju, akhirnya ketiga karakter ini mendapatkan kesempatan yang sama dalam 1 ring untuk sebuah pertandingan tinju resmi, dimana konteksnya adalah pertandingan tinju resmi dan profesional dimaka rekor pertandinganmu akan tercatat. Rekor pertandingan ini juga yang bisa dilihat oleh publik secara umum, dan dapat memberikan gambaran kepada publik tentang jago tidaknya seorang petinju.

Ogawa akhirnya bisa bertanding untuk berkesempatan mendapatkan gelar, setelah sebelumnya punya masalah dalam mengontrol berat badan. Lalu kemudian ada Urita, yang mana orang-orang di Gym termasuk Ogawa juga berharap dia akan mendapatkan kemenangan pertama tersebut. Sementara Narazaki akan merasakan pertandingan profesional perdana, yang tentu saja dia takuti. 

Disatu waktu, Urita main ke apartemen Ogawa untuk membicarakan taktik melawan pemegang gelar juara sebelumnya. Setelah pembicaraan tersebut, Ogawa tiba-tiba cerita bahwa jika dia menang pertandingan tersebut dia akan menikahi Chika.

“Jika aku menang, aku akan menikahi Chika,” ujar Ogawa. “Serius?” tutur Urita, “kalau begitu harus menang dong”. Meski demikian, Ogawa malah mempertanyakan apakah ia sebenarnya dapat memenangkan pertandingan tersebut. Yang kemudian dipertanyakan oleh Urita.

Obrolan mereka berdua seakan ngasih kesan seperti ada cinta segitiga. Tapi saya, ditengah review film Blue ini, merasa bahwa hal ini hanya menjadi sekadar red-herring. Apalagi dalam film ini, mereka bertiga itu sudah dekat sejak jaman sekolah. Penonton benar-benar diminta untuk berpikir, dan saya rasa penulis naskah sangat gokil untuk membuat nalar pemirsa dapat berjalan seperti ini.

Kita melihat dinamika hubungan mereka bertiga yang cukup depat, bahkan saya sampai dibuat penasaran juga. Apa benar Urita juga jatuh hati dengan Chika? Atau bahkan, Chika juga suka sama Urita?

Sayangnya, film Blue bertemakan tinju, jadi selama review ini saya lebih peduli soal Ogawa, serta kondisinya sebelum bertanding dengan kondisi prima. Sementara sakit kepalanya masih terus menghantui. Kita kemudian mendengar kisah dari Chika, bahwa baik Ogawa dan Urita memilih untuk berlatih tinju karena adanya saran dari Chika. Urita mendengar saran Chika, karena dengan belajar tinju mungkin dia bisa terhindar dari perundungan di sekolah, sementara Ogawa hanya ikut saja dengan Urita dan malah bertemu dengan passion-nya, dan dianggap jenius oleh mereka berdua. 

Film ini juga menyinggung sedikit perihal yang harus disiapkan oleh petinju aktif. Contohnya asuransi kesehatan, dan bisnis dalam pertandingan tinju, yang kadang lebih banyak rasa sakitnya serta otomatis menguras uang, mengingat biaya kesehatan dijepang terkenal cukup mahal. Adegannya mungkin sebentar, tapi cukup efektif, mengingat olahraga tinju sangat dekat dengan cidera.

Lalu akhirnya, kita sampai pada adegan pertandingan ketiga petinju ini. Narazaki yang masih ketakutan atas lawannya, mengalami grogi dan nervous. Sebagai pertandingan perdananya, cukup masih akal bagi para penonton, yang sangat memahami perasaan serupa yang dialami oleh Narazaki. Urita beda lagi, baik Ogawa dan penonton sama-sama berharap bahwa untuk pertandingan satu ini saja, dia setidaknya menang untuk memecahkan rekor kekalahannya itu.

Ogawa menyadari bahwa lawan Urita kali ini termasuk orang yang amatir pada olahraga tinju. Namun ketika pertandingan berlangsung, Ogawa melihat bahwa lawan Urita, meskipun masih seorang petinju amatir, mempunyai kemampuan olahraga yang baik dan diketahui ternyata dia sebelumnya mantan atlit kickboxer. Sehingga diatas kertas, lawan Urita punya banyak pengalaman dalam hal bertarung meskipun kemampuan bertinjunya masih amatir.

Tetapi itu cukup untuk membuat Urita kewalahan, dan kalah dengan K.O. Dipertandingan selanjutnya, Narazaki harus kalah dengan spektakuler karena kelemahan utama miliknya dimanfaatkan oleh lawannya. Kedua orang ini kalah pada malam itu, sehingga beban dari Gym tinju tersebut hanya tersisa menjadi pertaruhan Ogawa, sekaligus penantang untuk mendapatkan gelar juara.

Pertarungan mereka berdua seimbang, dengan Ogawa yang cukup kesulitan dalam memberi pukulan ke lawan. Lalu setelah menemukan celah, akhirnya Ogawa dapat melakukan strategi seperti yang sudah direncanakan oleh Urita. Ogawa melakukan serangan beruntun, dan menekan lawannya hingga akhirnya menang T.K.O. Urita kagum atas pencapaiannya pada pertandingan tersebut, Chika yang juga ikut menonton pertandingan itu lega karena tidak ada terjadi hal yang buruk selama pertandingan seperti pingsan dan lain-lain.

Ketiganya lalu diwawancara oleh MC tentang strategi lawannya. Lagi-lagi, dementia yang diderita Ogawa kumat. Sehingga ia kesulitan mengingat runut kejadian pertandingan tersebut, hingga kesulitan bicara.

Adegan kemudian pindah ke perayaan atas kemenangan Ogawa. Narazaki terlihat frustasi atas kekalahannya, lalu Urita berusaha untuk membujuk Narazaki untuk tidak meminum alkohol atas dasar kesehatan. Akan tetapi, Narazaki kemudian protes bahwa seharusnya Urita tidak pantas memberinya saran apa yang harus dia lakukan, sementara Urita sendiri tidak pernah memenangkan pertandingannya resminya.

Omongan Narazaki bisa diinterpretasikan, bahwa Urita adalah petinju gagal. Narazaki baru kemudian kalem, setelah ditampar oleh Chika bahwa dia sendiri tidak menyelesaikan pertandingannya sebelumnya, dan mengancam akan lebih sering menamparkan jika Narazaki akan melakukan hal yang sama pada pertandingannya. 

Dalam perjalanan pulang, sebelum berpisah Urita tiba-tiba mengaku kepada Ogawa dan Chika bahwa sejujurnya dia berfikir, bahwa dia ingin kalau Ogawa kalah malam itu. Tidak hanya pada pertandingan itu, tetapi pada pertandingan terdahulu juga. Chika yang berusaha mencairkan suasana dan menganggap Urita hanya bercanda saja. Akan tetapi, hal tersebut langsung dijawab Ogawa bahwa dia sudah lama tahu. Urita lalu kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.

Keesokan harinya, ketika Narazaki datang ke Gym seperti biasa. Ia menyadari bahwa Urita tidak ada di tempat itu. Pemilik Gym kemudian menyebut bahwa Urita memutuskan untuk berhenti tinju, dan merahasiakannya kepada orang lain selain sang pemilik. Dia sudah berniat untuk berhenti saat pertandingan terakhirnya dimalam itu. Rekan-rekan di Gym juga sangat menyayangkan kepergian Urita karena ia dikenal sebagai orang yang supel.

Sesuai janjinya, Ogawa akhirnya menikahi Chika dan tidak ada kehadiran teman mereka Urita disana. Lalu diperlihatkan bahwa keberadaan Urita masih lekat pada Gym tersebut, terutama kepada Narazaki karena dialah yang lebih sering dilatih oleh Urita dengan memperkuat teknik dasar tinju. Pemilik Gym menerima telpon dari promotor bahwa pertandingan untuk mempertahankan gelar juara Ogawa butuh pertandingan pembuka yang mana lawannya tersebut tidak ada, dan akhirnya Narazaki menawarkan diri.

Pemilik Gym, yang sebelumnya agak ragu, akhirnya memperbolehkan Narazaki untuk ikut pertandingan. Sebelumnya, dia merasa bahwa pertandingan ini seperti wujud balas dendam atas kekalahan Urita pada pertandingan sebelumnya. Jadi Narazaki seperti ingin melawan penantang sebelumnya.

Latihan Narazaki difokuskan untuk mengatasi kelemahan yang membuatnya kalah di pertandingan debutnya. Sementara itu, Ogawa punya masalahnya sendiri, dimana dia masih sering bertengkar dengan Chika soal keinginannya untuk pensiun dari karir bertinjunya, dikarenakan penyakitnya sudah semakin mempengaruhi kegiatan sehari-hari.

‘Tanpa Talenta, Ia Tetap Mencintai Tinju Layaknya Atlet Sungguhan’

Ogawa dan Narazaki makan malam di suatu tempat. Narazaki berkomentar bahwa biasanya mereka selalu ada di sudut biru dalam setiap pertandingan. Namun kali ini, kita berada di sudut merah. Ternyata sudut merah itu dipilih karena Ogawa adalah pemegang gelar juara, sekaligus akan menjadi penantang bertahan dalam perebutan gelar.

Sembari membicarakan tentang warna biru dan sudut pertandingan, Narazaki masih berharap ia dapat melihat Urita. Setidaknya, menang dari sudut biru ring tinju itu.

Obrolan mereka berdua sampai kepada pertanyaan penting bagi saya selama review film Blue. “Apakah passion dan talent itu cukup untuk bisa bertahan di olahraga tinju?” Ogawa merasa bahwa perbedaannya cukup jelas, antara orang yang memiliki passion, dan punya talenta dalam olahraga ini.

Narazaki mengeluarkan sebuah catatan, dan memperlihatkannya kepada Ogawa. Ogawa hanya bisa terharu dengan catatan yang berisi poin-poin apa saja yang harus dilatih oleh Narazaki serta berbagai catatan lainnya. “Narazaki,” ujar Ogawa, “menangkan pertandingan ini karena kamu adalah murid terakhirnya.”

Tinju is Love, Tinju is Life

Sampailah kita pada bagian terakhir dari film Blue (2021), dimana ada 2 pertandingan yang akan digelar. Pertandingan pertama yaitu Narazaki melawan petinju yang sebelumnya mengalahkan Urita, dan juga pertandingan kedua, yakni Ogawa yang mempertahankan gelar juaranya.

Pertandingan Narazaki cukup memberi harapan ke penonton, terutama saya saat melakukan review film Blue, sebab semua latihan yang telah dilakukan Narazaki, harusnya kalau pake logika film tinju pada umumnya, mampu membuatnya menang.

Sempat ada momentum dimana Urita muncul dan menceritakan secara detil gerakan apa saja yang dilakukan oleh Narazaki, namun hal itu tidak terjadi di film ini. Narazaki kalah dengan skor yang cukup tipis, tetapi kita bisa melihat wajahnya Narazaki sangat puas atas pertandingannya. 

Sementara itu, pertandingan Ogawa kali ini tidak disaksikan oleh istrinya karena ada pekerjaan mendadak, sehingga Ogawa harus bertarung sendirian bersama salah satu rekannya di Gym. Dementia yang dialami Ogawa mulai sering muncul, dia bahkan tidak mengingat sudah berapa ronde pertandingan berjalan. Lalu kemudian, dia mengalami luka lecet di dekat alis.

Ogawa diatas ring terlihat begitu mendominasi pertarungan, namun para hakim berkata lain. Ogawa tidak diperbolehan melanjutkan pertandingan karena cedera luka lecet tersebut. Lagi-lagi, ia kalah. 

Ogawa kembali ke pekerjaannya dan semakin hari semakin sulit hingga kecelakaan sudah semakin sering terjadi. Dementia yang Ia alami sudah mulai mempengaruhi kemampuan geraknya, khususnya tangan karena dia sering mengeluh keram. Di rumah, pembicaraan soal tinju seperti diharamkan, karena cidera otak Ogawa yang semakin mengkhawatirkan. Saya pribadi merasa sedih, dan sulit menonton menit-menit terakhir film Blue, bahkan untuk menyematkannya dalam review juga sangat sulit.

Meski demikian, ada sesuatu yang membuat saya puas menonton film tinju ini. Salah satunya, adalah adegan dimana Ogawa saat masih sering jogging dan shadowboxing, lalu ada Narazaki juga melakukan hal yang sama. Serta Urita, yang entah kemana Ia sekarang dengan pekerjaanya, yang juga tidak bisa lepas dengan tinju. Film ditutup dengan dia melakukan shadowboxing ditempat kerjanya. 

Ada Konsekuensi yang Harus Dibayar Seorang Petinju

Skenario dalam film Blue (2021) betul-betul tidak memberikan happy ending, karena ada konsekuensi yang harus dibayar bagi para atlet tinju. Tidak hanya resiko cedera, tetapi juga hubungan disekitarnya. Film ini berusaha memperlihatkan realita dari seorang petinju, yang bisa saja dialami oleh orang disekitar kita, mau apapun alasan pertama mereka tertarik terhadap tinju.

Mau olahraga tinju itu tidak bisa dilakukan diatas ring, tetapi kamu akan tetap mencintai tinju dan menjadikan tinju itu sebagai suatu bagian dari dalam diri. Belum lagi ada pesan subtle perihal orang yang punya passion terhadap tinju, dan orang yang punya talenta terhadap tinju.

Misalnya Ogawa, yang termasuk pada spektrum yang memiliki talenta dalam bertinju, lalu Narazaki yang berada diantara passion dan talenta. Narazaki sendiri hanya butuh waktu untuk berlatih untuk memperlihatkan potensinya. Sementara Urita, disepanjang film Blue (2021) kita hanya diperlihatkan dan diceritakan kalau dia hanya pernah menang 2 kali, dan kalah 10 kali berturut-turut.

Namun, yang membuat Urita mampu bertahan hanyalah kecintaanya pada olahraga tinju. Pada pertandingan terakhir, dia memutuskan berhenti, seakan memberitahu dirinya bahwa batasnya dalam dunia tinju hanya sampai situ saja. Ia tidak akan pernah bisa sejajar dengan teman-teman sesama atlet.

Ia hanya mempoles kemampuan dasarnya, meski itu juga tidak cukup. Dia juga iri dengan Ogawa, dan Ia ingin melihat Ogawa kalah karena merasa mungkin saja, kawannya tersebut sama seperti dirinya dalam hal kemampuan. Tetapi, jarak yang terlalu jauh itu membuat Urita untuk berhenti berkarir, dan memilih untuk menjadi penonton saja. 

Ogawa telah merasakan menjadi seorang pemegang gelar dan juara, tetapi cedera pasca-pertandingan memaksanya untuk menggantung sarung tinju. Apakah dia meninggalkan olahraga tinju? Tentu saja tidak.

Narazaki setelah susah-susah berusaha berlatih tinju untuk hal sepele, yaitu di-notice oleh rekan kerja perempuannya, tetapi ternyata hal tersebut tidak sesuai harapannya. Apakah dia meninggalkan tinju? Tidak.

Urita yang telah merasakan berkali-kali kekalahan, memikirkan berbagai teori dalam mengalahkan lawannya, dan berfikir bahwa dia hanya punya tinju dalam hidupnya. Lalu kemudian memutuskan untuk berhenti berkarir sebagai atlet tinju profesional. Apakah dia kecewa terhadap dirinya? Mungkin. Namun, apakah dia berhenti dari tinju? Bisa jadi. Lantas, apakah dia meninggalkan olahraga tinju? Saya rasa tidak. 

Ketiga karakter ini menggambarkan bagaimana tinju mengubah dan mempengaruhi hidup mereka. Meskipun tidak memberikan happy ending layaknya film tinju pada umumnya, namun cerita yang begitu dekat dengan kamu dapat menggugah ketertarikanmu akan sesuatu.

Bisa jadi, kamu yang memiliki passion terhadap sesuatu, tetapi tidak bisa ataupun mampu untuk terjun ke ranah itu, bukan berarti tidak punya medannya sendiri untuk mengekspresikan rasa cinta terhadap passion tersebut, bahkan olahraga sekalipun, yang dapat membuat hidup kalian berubah.

Bagi saya pribadi, film ini berhasil membuka mata penonton termasuk saya, bahwa tidak semua orang punya talenta. Tetapi kita sepakat bahwa passion kita sendirilah yang dapat mengubah hidup seseorang, meskipun awal mula bersentuhannya terdengar sepele sekalipun. 

Maka, untuk menutup review film Blue (2021) ini, saya cuma bisa bilang Tinju is Love, Tinju is Live.”


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.