Fenomena Depresi dan Tingginya Angka Bunuh Diri di Jepang

Angka bunuh diri di Jepang tergolong sangat tinggi dan salah satu penyebab utamanya adalah kondisi depresi yang terjadi pada masyarakat Jepang

Tingginya angka depresi di Jepang
Sumber foto: Theatlantic

Beberapa hari lalu, muncul sebuah berita menyedihkan terkait seorang pemagang asal Indonesia bunuh diri di Jepang.

Pemagang tersebut baru beberapa bulan bekerja di Jepang sebelum akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Tentunya hal ini mengagetkan meskipun bunuh diri di Jepang cukup sering terjadi.

Tapi, sebenarnya apa sih yang menyebabkan angka bunuh diri di Jepang sangat tinggi? Lalu, apa saja penyebabnya? Artikel ini akan mengulas hal tersebut.

Tingginya Angka Bunuh Diri di Jepang

Statistik angka bunuh diri di Jepang
Sumber foto: CNN.com

Peristiwa bunuh diri pada pemagang Indonesia tentu saja sangat mengagetkan. Bagaimana tidak, banyak orang yang berpikiran bahwa kerja di Jepang atau pun luar negeri itu menyenangkan. Namun, melalui akun twitter @kevinpramudya hal tersebut dibantah.

Akun yang juga mengabarkan peristiwa tersebut mengungkapkan bahwa pemagang tersebut baru bekerja selama tiga bulan di Jepang.

Selain itu, akun tersebut juga mengungkapkan bahwa bekerja di luar negeri, khususnya di Jepang, memang sangat berat, terlebih pada tahun pertama.

Hingga saat ini, belum diketahui secara pasti alasan dari pemagang tersebut. Namun, jika melihat informasi dari @kevinpramudya, bekerja di Jepang memang memberikan tekanan yang sangat tinggi.

Hal ini dapat terlihat dari kasus bunuh diri yang terjadi pada masyarakat Jepang. Menurut informasi, pada tahun 2014, setidaknya dalam satu hari ada 70 orang jepang yang bunuh diri.

Dari jumlah tersebut, sebagian besar adalah laki-laki. Angka tersebut mengalami sedikit penurunan, karena pada tahun 2012, angka bunuh di Jepang terjadi setidaknya pada 76 orang dalam satu hari, mengutip Merdeka.

Mengenai tingginya angka bunuh diri yang terjadi di Jepang, hal itu bahkan semakin terlihat saat pandemi COVID-19 baru terjadi, yaitu sekitar tahun 2020.

Salah satu contohnya pada Oktober 2020, saat itu jumlah orang meninggal akibat COVID-19 adalah 2,087 orang.

Jumlah tersebut masih kalah dengan orang yang memutuskan untuk bunuh diri. Pada bulan yang sama, angka bunuh diri di Jepang mencapai 2,153.

Dari contoh tersebut, terlihat bagaimana tingginya angka bunuh diri masyarakat Jepang. Ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut. Namun, salah satu yang utama adalah depresi.

Depresi Sebagai Alasan Bunuh Diri

Karoshi dapat menyebabkan depresi
Sumber foto: theculturetrip.com

Terjadinya depresi di Jepang sendiri umumnya dikarenakan beberapa alasan, seperti permasalahan ekonomi, tekanan untuk masuk universitas favorit, bullying atau pun cyberbullying, kesepian, dan beberapa alasan lainnya.

Untuk alasan permasalahan ekonomi, tingginya biaya hidup di Jepang, khususnya Tokyo menjadi alasan.

Pendapatan yang didapatkan oleh pekerja terkadang tidak sebanding dengan biaya hidup yang dibutuhkan.

Hal ini selain menyebabkan depresi yang berujung pada keputusan bunuh diri, menyebabkan terjadinya karoshi.

Bahkan, angka karoshi yang terjadi di Jepang pun juga sangat tinggi. Kalian bisa memahami karoshi lebih lanjut di sini.

Selain itu, untuk alasan cyberbullying, contoh kasusnya dapat terlihat dari peristiwa bunuh diri Hana Kimura.

Saat itu, wanita yang menjadi pemeran dalam reality show Terrace House memutuskan mengakhiri hidupnya akibat mengalami cyberbullying dari banyak pihak.

Berikutnya, salah satu penyebab depresi yang timbul adalah tekanan tinggi untuk masuk universitas yang terkemuka.

Hal ini biasanya terjadi pada anak muda dan mengakibatkan mereka memilih untuk melakukan hikikomori selama waktu yang tidak terbatas.

Dari beberapa contoh ini, kita bisa mengetahui bahwa depresi merupakan salah satu penyebab utama peristiwa bunuh diri di Jepang.

Apalagi, jika kita mencoba melihat budaya masyarakat Jepang pada umumnya, yang memilih menyimpan masalah yang dimiliki seorang diri.

Mereka tidak menceritakan permasalahan yang dialami kepada orang lain. Hal inilah yang lambat laun menyebabkan depresi dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Bahkan, saat ini angka bunuh diri mencapai usia yang lebih muda. Menurut Ken Joseph, anggota Japan Helpline, saat ini demografi angka bunuh diri kebanyakan diisi oleh anak muda.

Bukan hanya itu, fenomena ini bahkan menjadi alasan kematian nomor satu bagi laki-laki Jepang yang berada dalam kisaran usia 20 hingga 44 tahun.

Faktor Historis Turut Menjadi Alasan

Alasan historis bunuh diri masyarakat Jepang
Sumber foto: Kumparan

Selain depresi sebagai salah satu penyebab masyarakat Jepang melakukan bunuh diri, sebenarnya hal ini juga didasari oleh faktor historis. Dalam sejarah Jepang, bunuh diri adalah suatu hal yang lumrah terjadi, hal ini sebagai perwujudan tanggung jawab apabila mendapatkan sebuah kegagalan.

Mengenai peristiwa tersebut, biasa kita mengenalnya dengan nama seppuku atau harakiri. Dengan bunuh diri sebagai bentuk pertanggung jawaban seseorang, hal itu bisa mengembalikan derajat diri atau pun keluarganya setelah kegagalan yang dialami.

Jadi, menurut kepercayaan masyarakat Jepang tradisional, bunuh diri bukanlah suatu hal buruk, namun cara kematian yang terhormat. Terkait hal ini, Psikolog asal Universitas Temple, Wataru Nishida, mengungkapkan pendapatnya.

Menurutnya, masyarakat Jepang memiliki tradisi yang sudah bertahan selama beberapa abad untuk mengakhiri hidup demi kebanggaan. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat Jepang cenderung lebih mudah untuk memutuskan mengakhiri hidupnya.


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.