Masih Eksis, Apa Sebab dan Mengapa Fenomena Hikikomori di Jepang Susah Hilang?

hikikomori header
Raiden Shogun. Gambar: imtm (@imtmcomics), disediakan oleh editor.

Selama ini, mungkin kita mengenal masyarakat Jepang sebagai orang yang memiliki tingkat disiplin sangat tinggi. Bahkan, hal ini juga berpengaruh pada etos kerja mereka yang luar biasa. Hal itu juga menyebabkan terjadinya Karoshi yang tinggi pada masyarakat Jepang. Namun, bukan koroshi saja fenomena yang terjadi pada masyarakat Jepang akibat etos kerja tinggi dan kedisiplinan. Kondisi tersebut bisa juga menyebabkan terjadinya fenomena lain yang bernama hikikomori.

Jadi, apa sebenarnya Hikikomori itu?

Istilah Hikikomori (ditulis sebagai 引きこもり) sendiri baru hadir pada tahun 2003 silam. Istilah ini diciptakan oleh Psikolog asal Jepang, Tamaki Saito. Menurut Tamaki, Hikikomori adalah kondisi saat seseorang memilih untuk mengasingkan diri.

Bukan sekedar mengasingkan diri, namun seorang yang melakukan hikikomori biasanya tidak mengikuti pelbagai kegiatan dalam lingkungan sosialnya. Kondisi ini, biasanya terjadi dalam kurun waktu setidaknya 6 bulan.

Di belahan barat, istilah dengan konteks serupa juga terpakai, yaitu NEET (Not in Employment, Education, or Training).

Hikikomori, Mengurung diri dalam kamar
Gambar: bokete.jp

Meksipun istilahnya baru populer pada 2003, fenomena hikikomori sendiri sebenarnya sudah hadir sejak tahun 1980-an. Saat itu, Tamaki juga sudah menangani orang yang mengalami ciri-ciri hikikomori, seperti tampak lesu, menghabiskan sebagian besar waktunya dalam kamar, dan tidak komunikatif.

Terkait terjadinya fenomena mengasingkan diri ini, berdasarkan laporan dari New York Times, pada tahun 2006, setidaknya ada 1 juta orang yang mengasingkan diri dalam kamar. Namun, angka tersebut juga tidak pasti, karena sulitnya mendata pelaku.

10 tahun berselang, Pemerintah jepang merilis hasil survei yang menyebutkan bahwa setidaknya ada 541 ribu orang yang melakukan hikikomori. Orang-orang tersebut berada dalam rentang usia 15 hingga 39 tahun.

Meskipun demikian, angka tersebut diperkirakan lebih rendah dari kondisi sebenarnya. Kondisi ini mungkin terjadi karena survei tidak mencakup orang yang berusia kurang dari 15 tahun dan lebih dari 39 tahun.

Selanjutnya, pada tahun 2019, Tamaki Saito mengungkapkan jumlah orang yang melakukan hikikomori sudah mencapai 1,5 juta orang. Meskipun demikian, Tamaki memiliki keyakinan bahwa jumlah sebenarnya sudah lebih dari 2 juta jiwa.

Berapa Lama Waktu Seseorang Melakukan Hikikomori?

NEET ilustrasi
Gambar: Associazione ITACA (https://www.versoitaca.it/iscrizione/291/hikikomori:-adolescenti-in-volontaria-reclusione–inquadramento-del-fenomeno-in-ottica-evolutiva-e-metodologia-di-intervento-clinico)

Menurut Tamaki Saito, kondisi hikikomori biasanya terjadi dalam kurun waktu minimal 6 bulan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Irvansyah yang berjudul Analisis penyebab Hikikomori

Melalui Pendekatan Fenomenologi. Berdasar hasil penelitiannya, Irvansyah menyebutkan jangka waktu mengasingkan diri ini berbeda-beda.

Ada yang melakukannya selama 1 tahun, 1-5 tahun, 5-10 tahun, bahkan bisa juga lebih dari 10 tahun. Dari beberapa kurun waktu tersebut, yang terbanyak adalah dalam kurun waktu 1-5 tahun.

Namun, meskipun pelakunya menarik diri dari lingkungan sosialnya, bukan berarti mereka tidak berhubungan dengan orang lain. Dari penelitian Irvansyah, ada hal menarik yang muncul, yaitu pelaku hikikomori justru semakin dekat dengan anggota keluarganya.

Mereka menjadi lebih sering berinteraksi dan merasakan kenyamanan bersama dengan keluarga.

Apa Sih Penyebabnya?

Berdasarkan artikel yang dirilis oleh Tirto.id, salah satu alasan terjadinya hikikomori adalah kehidupan sosial yang penuh kedisiplinan dan tekanan.

Kondisi tersebut, rawan menyebabkan seseorang melakukan kesalahan. Kesalahan yang mereka lakukan, bisa menjadi salah satu penyebab seseorang akhirnya memutuskan melakukan hikikomori.

Selain itu, menurut Tamaki Saito, fenomena ini biasanya terjadi akibat tekanan dari orang tua kepada anaknya.

Tekanan tersebut bisa seperti menuntut anak mendapatkan nilai akademis bagus, karirnya sukses, menjadi panutan, dan beberapa alasan lainnya.

Kondisi yang penuh tekanan tersebut akhirnya bisa menimbulkan depresi, sehingga seseorang memilih melakukan hikikomori.

Selain beberapa alasan tersebut, menurut penelitian Irvansyah, ada beberapa alasan lain yang menyebabkan terjadinya hikikomori.

Beberapa alasan tersebut seperti bullying, lingkungan sosial, media massa, kegagalan akademis, faktor kesejahteraan keluarga, serta hubungan orang tua dan anak yang terlalu erat.

Hasil dari Depresi?

hikikomori emosi
Ilustrasi NEET depresi yang menyebabkan gejala emosi. | Gambar: Irasutoya

Meskipun sebelumnya sudah disebutkan bahwa salah satu penyebab terjadinya hikikomori adalah depresi, apakah fenomena ini sendiri merupakan dampak terakhir? Apakah akan berakhir dengan mengasingkan diri saja?

Mengenai hal ini, fenomena ini tampaknya bukanlah akhir, karena fenomena ini juga memiliki dampak lain. Dengan seseorang yang memilih melakukan mengasingkan diri dalam kamar, maka tentu akan berpengaruh pada sisi perekonomian, baik bagi orang itu atau bahkan bagi negara.

Kok bisa?

Jadi, jika seseorang mengasingkan diri, maka bagaimana dia bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan? Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, orang tersebut biasanya akan bergantung pada keluarganya.

Lantas, bagaimana jika mereka sudah tidak mendapatkan bantuan dari keluarga?

Menurut laporan dari National Geographic, saat seorang yang melakukan hikikomori sudah tidak mendapat bantuan dari keluarga, mereka akan bergantung pada negara. Kondisi ini tentu akan menimbulkan dampak buruk kepada negara, terlebih jika angka kasusnya terus meningkat.

Terkait hal ini, Perdana Menteri Jepang tahun 2016, Shinzo Abe, sempat berencana memberikan solusi bagi orang yang melakukan hikikomori. Solusi dari Abe adalah dengan membangun pusat konseling dan staf pendukungnya. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan semangat untuk bekerja.

Sayangnya, hal tersebut mendapat tentangan dari Kageki Asakura, Dekan dari Universitas Shure. Menurutnya, solusi dari Shinzo Abe tersebut hanya akan menambah tekanan pada hikikomori.

Hal ini tentunya akan menimbulkan dampak buruk lainnya yang mungkin akan terjadi.

Bagaimana tanggapanmu?

Dengan adanya tren hikikomori masih marak dengan beberapa faktor di atas, bagaimana NawaReaders menanggapi terhadap fenomena ini?

Adakah mungkin dari kalian yang pernah mengalami, atau kenalan dekat yang kini masih mendekam dalam problema ini?

Jangan lupa buat lontarkan pendapatmu di media sosial resmi Nawala Karsa, ya!

 


Referensi

Irvansyah, M. (2014). Analisis Penyebab Hikikomori Melalui Pendekatan Fenomenologi. Japanology, Vol 2(2)


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.