Film Hollywood yang mengadaptasi anime Jepang, selain menimbulkan kebanggaan, ternyata juga permasalahan.
Hal ini disampaikan Citra Rindu Prameswari, Pengamat Kajian Alih Wahana Program Studi Sastra Jepang Universitas Indonesia (UI), pada acara Bedah Film Gelar Jepang UI (GJUI) 29.
Citra memberikan salah satu contoh film Hollywood yang dimaksud, ialah Ghost in the Shell yang rilis pada 2017 silam.
Seputar ‘Ghost in the Shell‘ karya Hollywood adaptasi dari film anime
Film Hollywood bergenre fiksi ilmiah ini, merupakan karya Rupert Sanders, dengan mengadaptasi anime berjudul serupa yang pernah rilis pada 1995.
Secara garis besar, film ini mengisahkan cyborg bernama Mira Killian / Motoko Kusanagi selaku tokoh utana, yang diperankan oleh aktris Scarlett Johansson, pemeran Black Widow di Marvel Cinematic Universe.
Mira terpaksa harus, menginvestigasi kehidupan masa lalunya, setelah ada insiden terorisme yang menewaskan seorang perdana menteri.
Kebanggaan Atas Budaya Populer Jepang
Citra mengungkapkan, bahwa film Hollywood tersebut di satu sisi menimbulkan kebanggaan tersendiri atas budaya populer Jepang.
Karena selama ini, Ghost in the Shell hanya menjadi referensi bagi film ternama seperti The Matrix karya Lana Wachowski dan Andy Wachowski yang rilis pertama kali pada 1999.
Bahkan film Avatar karya James Cameron, juga menjadikan anime karya Mamoru Oshii tersebut, sebagai referensinya. Keduanya menjadikan Ghost In Shell sebagai referensi untuk menggambarkan kondisi peradaban manusia di masa depan, khususnya ialah teknologinya.
Permasalahan Intrinsik dan Ekstrinsik Menyelimutinya
Namun Citra juga mengungkapkan, bahwa film anime yang mendapatkan adaptasi dari Hollywood ini juga menimbulkan permasalahan baik intrinsik naupun ekstrinsiknya.
Dalam hal intrinsiknya, sudah jadi diskusi umum bahwa pemilihan Scarlett Johansson sebagai tokoh utama, sarat akan isu whitewashing atau aktor/aktris kulit putih memerankan karakter non kulit putih.
Tetapi intrinsik film yang kurang disadari menurut Citra, ialah pesannya terlampau jauh dari karya yang menjadi adaptasinya.
Pada anime Ghost In Shell, menyampaikan pesan mengenai krisis identitas di masa depan antara manusia dengan robot, sedangkan pada film Hollywood-nya, hanya menampilkan formula cerita pahlawan melawan penjahat semata.
Hal tersebut tak lepas dari masalah ekstrinsiknya, yang mana film ini terkesan memupuk keuntungan semata dari penonton umum, yang justru mulai tren kurang menyukai adanya whitewashing.