Google akhir-akhir ini semakin gencar dalam memberantas adanya hoax di platform mereka. Bahkan, Google melakukan berbagai cara untuk meminimalisir masalah tersebut.
Salah satunya, adalah dengan membentuk upaya fact-check, atau verifikasi fakta dengan tujuan ‘membetulkan’ berita-berita yang tersebar di dunia maya tersebut.
Sayangnya, upaya ini tidak sepenuhnya menjadi solusi utama. Ada jeda antara cek fakta dengan waktu penyebaran informasi, yang berarti berita sudah banyak orang baca sebelum mengetahui kebenarannya.
Karena hal tersebut, berkali-kali kita diingatkan untuk tidak langsung percaya apa yang dibaca di internet.
Bagi peneliti Google dan beberapa universitas terkemuka di Inggris, edukasi untuk melawan hoax ini memang perlu ditanamkan kepada siapa saja yang mengakses informasi secara daring.
Edukasi ini pada akhirnya akan menumbuhkan perasaan skeptis pada para pengguna internet.
Melawan Hoax, Responden Penelitian Mempelajari ‘Taktik’ Musuh

Melansir New York Times, peneliti Google bersama Universitas Cambridge, dan universitas Bristol mempelajari pendekatan lain dalam melawan hoax lewat apa yang mereka sebut ‘pre-bunking‘.
Melalui edukasi psikologis pada pengguna internet melawan informasi salah dan teori konspirasi, para peneliti tersebut menemukan kalau metode mereka membuat pengguna internet lebih skeptis terhadap berita yang mereka baca di internet.
Cara yang peneliti tersebut lakukan, adalah dengan memperlihatkan video yang berisi taktik-taktik misinformasi.
Dalam artikel yang dirilis dalam Science Advance, cara tersebut cukup berhasil, walau perlu upaya lebih terhadap responden penganut politik.
Memanfaatkan Hasrat Seseorang Menghindari Hoax

Beth Goldberg, salah satu peneliti dalam jurnal tersebut mengatakan bahwa metode ini berdasarkan pada keinginan setiap orang untuk menghindari penipuan.
Dalam wawancara, Goldberg menyampaikan kalau “Cara ini relatif lebih efektif dalam spektrum teori konspirasi, maupun spektrum politik,” ungkapnya.
Peneliti mengajarkan teknik-teknik yang biasa dilakukan pencipta misinformasi, seperti informasi inkoheren, penjelasan dengan kalimat kompleks, serta mengkambing-hitamkan salah satu pihak dalam narasi.
Pada salah satu video, responden ditampilkan sebuah video dengan musik sedih dan adegan dramatis, lengkap dengan narator yang mengucapkan kata-kata “apa yang akan kamu saksikan berikutnya akan membuatmu menangis.”
Tapi video tersebut justru menjelaskan kalau ‘konten emosional cenderung membuat audiens memberi perhatian lebih, berujung pada penyebaran ide moral dan politik di media sosial.’
Media Sosial Perlu Meningkatkan Upaya Mereka

Tidak hanya dalam negeri, negara maju seperti Amerika Serikat juga punya masalah mereka sendiri terkait menghadapi hoax.
Pada situasi yang kental dengan unsur politik seperti pemilihan umum, isu ini jadi semakin relevan, terutama di media sosial yang sering jadi arena utama penyebaran misinformasi.
Media sosial besar seperti Facebook, Twitter, bahkan TikTok, memberi perhatian pada isu ini lewat kerja sama dengan grup cek fakta, label misinformasi, serta portal yang memverifikasi kebenaran suatu postingan.
Mereka juga tidak segan untuk mencabut post hoax atau sepenuhnya memblokir akun yang mendapat berbagai laporan pengguna tentang penyebaran misinformasi.
Walau memang ada hasil yang terlihat dari verifikasi fakta tersebut, upaya yang dilakukan perusahaan media sosial tidak efektif dalam memberantas hoax dan penyebaran misinformasi.
Justru, upaya untuk mengedukasi pengguna internet membutuhkan konten edukasi yang menarik dan mudah dipahami sejak awal. Bisa dalam bentuk video dari penelitian Beth, maupun permainan interkatif untuk mengasah kemampuan berpikir kritis.