Review Film Father of the Milky Way Railroad, Empati Menurut Budaya Jepang

Cerita tentang novelis anak-anak Jepang ternama, diceritakan kembali dari sudut pandang keluarga.

father of the milky way railroad
Film Ginga Tetsudo no Chichi merupakan penceritaan kembali riwayat novelis Miyazawa Kenji dari sudut pandang berbeda. | FOTO: Kino Films/Father of the Milky Way Railroad via Movie Core | EDIT: Nawala Karsa

Miyazawa Kenji adalah salah satu novelis legendaris dunia literatur Jepang yang kian ternama dengan sejumlah bibliografinya.

Salah satu karyanya, Night on the Galactic Railroad (Ginga Tetsudo no Yoru) menginspirasikan sejumlah media pop kultur yang dikenal hingga kini.

Namun, kurang banyak yang mengetahui riwayat hidup dari Miyazawa yang sebenarnya terbilang sangat sebentar ini di masanya menjadi novelis, dari ia punya mimpi untuk jadi penulis handal hingga meningkatkan derajat hidup orang banyak.

Oleh karena itu, di Jepang ada satu novel yang mengangkat sebuah semi-autobiografi darinya, lewat sudut pandang keluarganya yaitu Ginga Tetsudo no Chichi (Father of The Milky Way Railroad).

Novel ini telah diadaptasi menjadi sebuah film berdurasi dua jam, mengisahkan kembali riwayat hidup sang novelis beserta keluarganya, mengulik lika liku Miyazawa Kenji yang punya tekad ingin menghidupi diri dengan jalan yang ia pilih.

Melalui review film Father of The Milky Way Railroad ini, penulis akan mencoba mengupas intisari yang tersirat dari karya layar lebar yang dirilis tahun ini di Jepang.

Tentang Film Father of the Milky Way Railroad

Father of Milky Way Railroad (Ginga Tetsudo no Chichi ) merupakan film dari sutradara Narushima Izuru produksi Kino Films, divisi film untuk Kinoshita Group Jepang, yang terbilang masih baru di Jepang sejak diputar pada Mei lalu.

Film ini sebenarnya tidak sepenuhnya mengadaptasi secara langsung biografi penuh dari Miyazawa Kenji, melainkan diadaptasi dari sebuah novel karya Kadoi Yoshinobu, yang diterbitkan pada September 2017.

Di Jepang sendiri, film ini mendapat predikat baik berdasarkan review daring yang diulas oleh sejumlah penikmat film dari situs agregat pengulas film Jepang, seperti Eiga.com.

Meskipun diceritakan berdasarkan sudut pandang terpisah dari Kenji, tata cerita yang disusun sebenarnya padat, bahkan lebih komprehensif didukung penekanan karakter tanpa meninggalkan fakta sesuai riwayat hidup aslinya.

Film ini dibintangi oleh Yakusho Koji sebagai Miyazawa Masajiro, kepala keluarga Miyazawa yang mengelola usaha pegadaian di Hanamaki, Iwate, Jepang.

Selain Yakusho, ada Suda Masaki sebagai Miyazawa Kenji dan Mori Nana sebagai Toshi, adik dari Kenji. Didukung juga para aktor lainnya seperti Tanaka Min, Sakai Maki, dan Toyota Yudai.

Sinopsis Cerita Ginga Tetsudo no Chichi

Miyazawa Masajiro merupakan pengusaha pegadaian yang membantu perekonomian masyarakat kampung halamannya, Hanamaki, Prefektur Iwate.

Ia mengaku dirinya sebagai pria yang berwawasan luas dan berpandangan maju dibanding orang-orang disekitarnya, meski hanya sibuk pulang-pergi sebatas ke Tokyo.

Kelahiran putra sulungnya yang ia nantikan, yaitu Miyazawa Kenji, membuatnya ingin sekali untuk mewariskan usaha pegadaian kepadanya.

Namun, pada suatu hari ketika Kenji lulus dari SMP, ia punya mimpi lain yang sangat kontras dengan ambisi dirinya.

Bagaimana Masajiro menyikapi sikap berseberangan Kenji tersebut? Apakah dirinya harus mengalah kepada zaman yang semakin maju atau tetap pertahankan usahanya?

Cara Sutradara Narushima Ceritakan Keluarga Kenji

Dalam Father of Milky Way Railroad, kehidupan Miyazawa Kenji diceritakan dalam sudut pandang ayah kandungnya.

Mulai dari masa kecil Kenji yang begitu sakit-sakitan, menentukan nasib sendiri, beralih ke sekte agama yang pisah dari keluarga inti, sampai harus menemani Kenji pasca shock ditinggal mati kakaknya imbas TBC.

Film ini memberikan penekanan sinematografi dari sutradara yang berusaha mentranslasikan sumber novel ke adaptasi layar lebar.

Permainan setting yang diambil di antara era Taisho dan Showa sangat berperan dalam akting sejumlah pelakonnya hingga lingkungan yang diberikan.

Contohnya, seperti pada adegan Miyazawa Kenji terkait ritual agama yang dilakukan, digambarkan sangat kontras dengan adat istiadat kampungnya yang berbeda sekte.

Peran Yakusho Koji sebagai ayah kandung Kenji menyeimbangi sorotan dari Kenji sendiri, diperankan Suda, yang seakan-akan seperti beralih ganti point-of-view sepanjang filmnya.

Memahami Nilai-nilai Budaya Jepang yang Tersirat

Film ini tak cuma mengisahkan riwayat dari Miyazawa Kenji semata, namun menelaah kehidupan anggota keluarga lainnya dari kacamata seorang Bapak Masajiro.

Masajiro meski memiliki mindset yang kolot tetapi dirinya sayang dengan anak dan keluarganya. Awalnya begitu keras ia ingin pertahankan usaha pegadaian barang milik generasi sebelumnya turun temurun, namun melunak saking menyadari akan perubahan secara signifikan di lingkungan sekitarnya.

Ego Seorang Anak dan Ekspresi Empati Keluarga

Nilai-nilai empati yang digambarkan oleh sosok Masajiro menjadi titik penentu apabila ia dapat menerima jalan yang Kenji tempuh sebagai novelis, sekaligus membantu masyarakat sekitar, meskipun dirinya dan Kenji menganut sekte berbeda.

Kenji pun demikian, dengan adiknya Toshi sebagai penyemangatnya berkarya. Ia mengaku bahwa dirinya sejak muda belum ada keinginan untuk jadi pendongeng saking kecintaannya terhadap kisah tersebut bersama adiknya.

Wajarlah memang sepeninggal Toshi, Miyazawa Kenji tampak sangat terpukul dan berpengaruh masif kepada mentalnya. Lebih-lebih pada masa itu, wabah TBC dengan komplikasi parah sangat sering diderita warga Hanamaki karena ilmu kesehatan yang belum meluas saat itu.

Oleh karena itu, peran sang bapak Masajiro sangat penting sebagai pendengar setia dongeng-dongeng tulisan Kenji, dimana ia memperhatikan karya-karyanya dengan seksama, tak lain bagi Kenji hanya ingin mendapat pengakuan dari keluarganya.

Menerima Kenyataan Lewat Kematian

Kematian juga menjadi penekanan dalam film ini, dimana penonton diingatkan kembali bahwa manusia hanya hidup sementara. Konsep mati tersebut sangat sakral dipresentasikan, sebab bagi orang Jepang siklus manusia itu sangat bergantung dengan perbuatan yang dilakukan selama hidup.

Makanya, tidak salah pula apabila gambaran dinamika masyarakat Jepang pada masa riwayat Miyazawa Kenji hidup begitu tersirat oleh sutradara Father of Milky Way Railroad ini.

Father of the Milky Way Railroad, Cara Jepang Mengenalkan Empati dan Kegigihan

Kesimpulan dari review diatas, film Father of the Milky Way Railroad merupakan sebuah film adaptasi novel yang tidak langsung menceritakan Miyazawa Kenji dari mata ayahandanya.

Memandu seorang anak untuk menggapai jalannya memang rumit, apalagi sangat berbeda pikiran dengan yang dimiliki.

Penulis mengamati bahwa konsep hidup mati di Jepang begitu juga dengan kesabaran dalam mencapai impian berdasarkan jalan yang dipilih sangatlah dominan tapi krusial.

Motivasi dari seseorang itu dicetus dari keinginan yang terinspirasi dari faktor eksternal, namun tentunya harus siap untuk merelakan kebiasaan atau norma yang keukeuh diterapkan di masyarakat, agar bisa lebih beradaptasi seiring zaman.

Pada akhirnya melalui review ini, Father of The Milky Way Railroad ajarkan betapa zaman berubah itu pengaruhi mindset para insan muda yang ingin berubah dan membantu khalayak orang banyak, tentunya perlu ada dukungan dan empati dari keluarga, terutama orang tua yang semestinya peka akan fenonema tersebut.

Father of the Milky Way Railroad sudah selesai diputar lewat Japanese Film Festival 2023, di Jakarta dan Makassar, dan akan tayang segera di Bandung Desember mendatang.


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.