Review Buku Convenience Store Woman: Melihat Masyarakat dari Balik Kotak Kaca Bernama Minimarket

novel Convenience Store Woman
FOTO: Gramedia Pustaka / gramedia.com, 2020

REVIEW BUKU – Beberapa waktu lalu, penerbit Gramedia Pustaka Utama mengumumkan bahwa mereka akan menerbitkan Convenience Store Woman dalam bahasa Indonesia dan memberi judul baru, yaitu Gadis Minimarket.

Terdapat metafora sosial dalam sebuah “Minimarket”

convenience store woman review buku novel gramedia pustaka
Sebuah konbini atau Minimarket, yang di ilustrasikan dalam sampul buku Gadis Minimarket terbitan Gramedia Pustaka | FOTO: Gramedia Pustaka / gramedia.com, 2020

Karena saya telah mengincar buku tersebut sejak lama, saya pun tertarik dan tidak berpikir dua kali sebelum membelinya. Ternyata benar—buku ini sangat menarik. Inilah ulasan novel Convenience Store Woman karya Sayaka Murata dari saya.

Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata “minimarket”? Mungkin, ada yang berpikir bahwa itu adalah sekadar tempat yang bisa didatangi ketika ingin membeli makanan ringan atau minuman kesukaan. Mungkin juga ada yang berpikir bahwa minimarket adalah tempat menjual makanan cepat saji yang praktis, terjangkau, dan rasanya juga enak.

Memang, semua anggapan itu benar. Namun, jika dilihat dari sisi lain, segala isi minimarket, seperti makanan dan minuman yang tertata rapi, makanan cepat saji yang diletakkan di dekat kasir, bahkan hingga suara pintu dibuka juga dipandang sebagai metafora keteraturan sosial yang dijunjung masyarakat di sekitar kita. Dalam review buku kali ini, itulah yang menjadi premis dari novel Gadis Minimarket atau Convenience Store Woman karya penulis Sayaka Murata.

Sinopsis novel Convenience Store Woman

review buku convenience store woman
Sampul buku Convenience Store Woman | FOTO: Gramedia Pustaka / gramedia.com, 2020

Dalam cerita Convenience Store Woman, Keiko Furukura adalah seorang wanita berusia 36 tahun yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Ia adalah seorang pegawai paruh waktu di sebuah minimarket dan telah bekerja di sana sedari saat ia masih kuliah. Meski sudah berusia 36 tahun, Keiko belum menikah dan belum pernah berkencan. Hal ini membuat ia menjadi bahan gosip orang-orang di sekitarnya dan membuat ia berpikir ia “berbeda” dari yang lain.

Di suatu kesempatan, Keiko bertemu dengan Shiraha, pria yang seumuran dengannya, sebagai sesama pegawai minimarket. Bedanya, Keiko adalah pegawai lama sementara Shiraha adalah pegawai baru. Sepanjang interaksi mereka berdua, Shiraha menantang ide-ide yang Keiko pikirkan soal lingkungan sosial di sekitarnya dan membandingkannya dengan “masyarakat desa”. Pemikiran Keiko mulai terusik dan ia mulai berpikir, apakah ia seburuk yang orang-orang pikirkan.

Kombinasi pengalaman penulis dan diksi yang tepat

Awalnya, saya mengira bahwa novel Convenience Store Woman hanya berbicara mengenai karier Keiko dan juga terinspirasi dari atmosfer minimarket alias konbini yang merajalela dan bahkan telah menjadi trademark alias hal yang paling diingat dari Jepang. Namun rupanya, buku ini memiliki makna yang amat dalam.

Salah satu hal yang saya perhatikan di sini adalah Murata sebagai penulis mampu menggunakan pengalamannya bekerja di minimarket sebagai basis dari cerita ini. Hal itu menjadikan suasana minimarket terkesan nyata dan pembaca bisa merasakannya pula, tak peduli di manapun mereka membaca buku ini.

Selain itu, pilihan kata yang dirangkai oleh penulis juga pas untuk cerita ini, sehingga pembaca dapat larut dalam karakter Keiko yang perhatian terhadap detail saat sedang menjabarkan bagian dimana Keiko menata produk-produk yang dijual di minimarket atau selalu fokus dengan pekerjaannya saat koleganya yang lain membicarakan hubungannya dengan Shiraha.

Karena pilihan kata yang tepat juga, pembaca dapat merasakan kegundahan Keiko dan Shiraha dalam novel Convenience Store Woman, yang selalu dianggap sebagai “buangan” karena tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak menikah. Orang-orang di sekitar mereka terlalu merongrong mereka dengan banyak pertanyaan yang sifatnya pribadi, membuat mereka menjadi orang-orang yang memiliki perspektif buruk tentang masyarakat pada umumnya.

Saya juga suka dengan adaya karakter Keiko yang merasa “berbeda” dengan teman-temannya sedari kecil dan Shiraha yang terlalu idealis. Karakter-karakter ini sangat nyata dan banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Sarat akan kritik sosial masyarakat

Meskipun berbicara tentang kehidupan sehari-hari, novel Convenience Store Woman sarat akan kritik sosial. Murata menggunakan suasana dalam minimarket sebagai persepsi akan keadaan sosial masyarakat di seluruh dunia—serba teratur dan semua orang harus sama, dalam artian setiap anggota masyarakat diharapkan untuk mengikuti standar yang berlaku. Jika ada orang yang tidak mengikutinya, ia akan dianggap remeh oleh masyarakat.

Padahal, berbeda belum tentu buruk. Berbeda bisa menjadi hal yang bagus, karena perbedaan menjadikan ada banyak warna dalam kehidupan ini—tidak melulu hitam dan putih, ada juga warna-warna lainnya. Sayangnya, tidak semua orang berpendapat seperti itu dan tidak semua orang siap menerima perbedaan di lingkup sosial mereka.

Sistem inilah yang membuat Keiko terpuruk. Terlalu banyak orang yang mengkritik gaya hidupnya dan orang tua serta adik yang berpikiran bahwa ia “tidak normal” karena pola pikirnya yang selalu berbeda sejak ia kecil membuatnya berpikir bahwa tidak ada tempat lain yang aman buatnya selain minimarket.

Dari balik kotak kaca itu, ia bisa menganggap dirinya sebagai sebuah entitas bernama pegawai supermarket yang dianggap normal oleh orang-orang karena ia cekatan dan perhatian terhadap kebutuhan pelanggan. Padahal, yang sebenarnya ia butuhkan adalah arahan dan dukungan dari orang-orang di dekatnya.

Buku Convenience Store Woman juga menyinggung soal masyarakat yang individualis, namun malah gemar mencampuri hidup orang lain, yang mana bukan ranah mereka sama sekali. Ada banyak orang yang berprinsip kalau orang seharusnya memedulikan masalahnya sendiri dan bukan masalah orang lain. Tapi, kalau ada orang di sekitarnya tersandung masalah, ia tidak membantu dan malah asyik mengomentari.

Seharusnya, mereka memedulikan hidupnya sendiri dan tidak mencampuri hidup orang lain, namun nyatanya banyak yang masih seperti itu. Selain itu, bukannya memberi arahan dan dukungan, mereka malah mencemooh orang di sekitar mereka yang terkesan “berbeda” karena pilihan hidupnya.

Kesimpulan novel Convenience Store Woman

novel Convenience Store Woman 2
Keiko Furukura, protagonis yang dikenal sebagai gadis minimarket | FOTO: Gramedia Pustaka / gramedia.com, 2020

Intinya, meskipun ceritanya berfokus pada kehidupan pribadi seorang Keiko Furukura, buku ini juga penuh akan pesan moral terkait bagaimana seharusnya kita memperlakukan orang lain dan menerima perbedaan dalam masyarakat. Hargailah pendapat serta gaya hidup orang lain dan mereka akan menghargaimu juga.

Saya pribadi sangat terkesan dengan buku ini. Jika kalian para pembaca review kali ini ingin membaca sebuah buku baru, Convenience Store Woman bisa menjadi pilihan yang tepat untuk kalian. Kalian dapat membelinya pada laman Gramedia atau kunjungi toko buku langganan kalian.


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.