Review Novel The Cur(s)e, Si Kembar Berpetualang Demi Melepas Kutukan

Ingin mencoba membaca novel kompetisi Ponyo yang bertema Roadtrip, kali ini kita akan membahas novel The Cur(s)e, yuk kita intip!

Berakhirnya kompetisi Ponyo Writing Contest bertemakan Roadtrip beberapa bulan lalu mengumumkan empat novel yang menang.

Novel-novel tersebut di antaranya Rest Area karya Vinni Dianita, The Cur(s)e karya Rafli Pieces, Teras Rasa karya Abdilah Aldi, dan Seven Days Before karya Izaddina. Kali ini, penulis akan mereview novel The Cur(s)e karya Rafli Pieces.

Novel tersebut mengisahkan tentang si kembar bernama Ashvin dan Alvin yang terkena kutukan akibat membuka segel warisan ibu mereka.

Mereka pun harus melepas kutukan tersebut dengan melakukan ruwatan. Bersama teman mereka, Gita, mereka berpetualangan di dunia mistis demi melepaskan kutukan.

Yuk kita simak review novel The Cur(s)e!

Cerita Sederhana dan Penuh Petualangan

Review Novel The Cur(s)e, Si Kembar Berpetualang Demi Melepas Kutukan
Gunung Lawu menjadi lokasi yang dituju oleh Si Kembar | FOTO: getlost.id | EDIT: Nawalakarsa

Hasil review mengenai novel The Cur(s)e karya Rafli Pieces yang pertama adalah memiliki cerita yang sebenarnya cukup sederhana, mudah dicerna bagi pembaca pemula.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa novel tersebut menceritakan si kembar, Ashvin dan Alvin yang terkutuk akibat membuka segel warisan ibu mereka.

Oleh karena itu, untuk melepaskan kutukan, mereka harus melakukan ruwatan oleh orang yang memiliki garis keturunan yakni kakeknya.

Dari premis tersebut, memang tidak ada menarik. Namun, hal yang menarik terletak pada genre petualangan.

Jarang ditemui novel horror dan petualangan, apalagi petualangan tersebut bertujuan untuk melepaskan kutukan.

Kebanyakan novel-novel horror lokal lebih sering bermain di satu lokasi, tetapi dalam The Cur(s)e hal tersebut berhasil keluar pakem.

Ashvin dan Alvin yang terkutuk harus melakukan perjelanan ke rumah kakeknya yang berada di kaki Gunung Lawu bersama Gita, teman mereka.

Kutukan tersebut menyebabkan si kembar mampu melihat makhluk halus yang bervariasi, seperti hantu-hantu lokal. Sehingga dalam perjalanan mereka, sering kali hantu-hantu lokal tersebut muncul.

Gita menyipitkan mata. Membuka kaca jendela, menyembulkan kepala sebentar, lalu kembali saat makhluk itu menghilang dari penglihatannya. “Kayaknya, kaki Genderuwo,” lapornya datar, seolah bukan beban baginya melihat makhluk aneh. (The Cur(s)e: 39)

Walau bergenre horror, petualangan yang dihadirkan tak kalah seru. Dalam perjalanan, Ashvin, Alvin, dan Gita menyasar ke dunia gaib.

Untuk keluar dari dunia tersebut, Gita mendapatkan pertolongan dari anjing jadi-jadian. Namun, untuk kabur dari dunia tersebut tak semudah yang mereka bayangkan.

Selain itu, di dunia nyata mereka juga harus berhadapan dengan makhluk halus yang melintas tiba-tiba, walau tak menyerang.

Terdapat Unsur Kebudayaan Lokal, Tetapi Lemah

Review Novel The Cur(s)e, Si Kembar Berpetualang Demi Melepas Kutukan
Gambar keris salah satu senjata yang ada dalam novel The Cur(s)e | FOTO: Bincang Syariah | EDIT: Nawalakarsa

Selama penulis membaca novel The Cur(s)e, hal yang mendapatkan sorotan pertama kali adalah kebudayaan berupa benda.

Benda tersebut merupakan keris yang sering kali disinggung sebagai senjata sakti. Di sisi lain, kebudayaan yang hadir berupa bahasa Sunda yang sering kali diucapkan dalam dialog si kembar.

Sia’mun kangen Mamah entong ngajak-ngajak aing buat mati!” (The Cur(s)e: 50)

Terjemahan:

Kamu kalau kangen Mamah jangan ngajak-ngajak aku buat mati!

Terakhir terdapat kebudayaan yang berjenis religi, Islam Kejawen. Ketiga unsur tersebut ada di novel The Cur(s)e. Akan tetapi, kurang menonjol.

Selain unsur kebudayaan, pemilihan Gunung Lawu sebagai latar dalam novel tersebut dirasa begitu cocok karena gunung tersebut terkenal dengan hal-hal yang berbau mistis.

Meski sering kali disebut dan diucapkan, tetapi hal tersebut masih belum bisa menonjolkan kebudayaan-kebudayaan lokal.

Pengarang novel tersebut terlalu fokus pada perjalanan dan cerita, sehingga unsur pembangun masih dirasa kurang seperti kebudayaan salah satunya.

Walau lemah, tetapi di sisi lain hal tersebut memiliki dampak positif yakni memperkenalkan kebudayaan-kebudayaan lokal yang dirasa makin hari makin tergerus oleh zaman, khususnya kebudayaan benda.

Melalui novel-novel seperti ini, kebudayaan diperkenalkan dan dilestarikan. Walau di luar sana masih ada novel yang lebih menonjolkan kebudayaan.

Sejarah Mengenai Asal Usul Keris Si Kembar Lemah

Selain adanya kebudayaan di dalam novel tersebut. Sejarah mengenai keris Si Kembar pun terasa lemah.

Hal tersebut lantaran mengenai asal-usul keris tersebut baru dijelaskan di akhir cerita. Disinggunglah dua kerajaan yang terkenal dalam sejarah Indonesia, Majapahit dan Demak.

Walau begitu, penggalian asal-usul mengenai sejarah keris milik Si Kembar tersebut telah terjawab, tetapi kurang mendalam. Khususnya pada bagian sejarah Majapahit dan Demak.

Selama Proses Menulis, Rafli Pieces Menggunakan Google Maps

Review Novel The Cur(s)e, Si Kembar Berpetualang Demi Melepas Kutukan
Pengarang novel mengaku menggunakan Google Maps untuk riset | FOTO: Google Maps | EDIT: Nawalakarsa

Karena mengangkat tema roadtrip yang dihadirkan oleh Kompetisi Ponyo, sehingga cerita tersebut memiliki genre petualangan.

Menurut pengakuan Rafli yang dikutip dari laman instagram Ponyo Media. Pengarang menggunakan Google Maps untuk menentukan perjalanan yang dilakukan di kembar.

Hal tersebut dimulai dari kota apa saja yang akan dilalui serta rest area mana saja yang dapat digunakan sebagai pemberhentian.

Hanya dengan google maps, Rafli mampu membuat dan memenangkan kompetisi Ponyo, The Cur(s)e.

Novel The Cur(s)e Kaya Akan Pesan-Pesan

Review Novel The Cur(s)e, Si Kembar Berpetualang Demi Melepas Kutukan
Novel fisik The Cur(s)e | FOTO: Ponyo Media Pustaka | EDIT: Nawalakarsa

Salah satu unsur intrinsik dalam novel adalah amanat. Rafli selaku pengarang The Cur(s)e tak melupakan unsur intrinsik tersebut.

Pesan-pesan yang hadir menurut penulis adalah mengenai hubungan dalam saudara kandung.

Dalam cerita The Cur(s)e, diceritakan hubungan Ashvin dan Alvin tak baik semenjak ayah mereka meninggal. Alvin selalu menyalahkan Ashvin karena sosok ayahnya meninggal.

Begitu pula sebaliknya, Alvin juga merasa tak mendapatkan kasih sayang dari sosok ibunya. Karena menurutnya, ibunya lebih menyayangi Ashvin.

Perjalanan untuk mematahkan kutukan tersebut membuat mereka berdua perlahan yang semula renggang kini kembali raket.

Karena saudara kandung merupakan sosok yang bisa diandalkan melebihi dari seorang teman.

Kesimpulan Penulis

Kesimpulan review mengenai novel The Cur(s)e secara garis cerita memang sederhana bahkan mudah dipahami dengan pengelolaan kata yang sederhana dan tidak tinggi.

Cerita yang dibawakan cukup santai walau kondisi dalam novel tersebut begitu menegangkan. Petualangan yang disuguhkan pun tak kalah menegangkan dengan unsur horror.

Walau begitu, kelemahan dalam novel tersebut terdapat pada unsur kebudayaan dan sejarah yang penggaliannya kurang mendalam, oleh karena itu kesan yang dibangun pun masih terasa kurang.

Novel tersebut cocok untuk kamu yang ingin memulai memasuki dunia literasi.


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.