Mengenal Katsushika Oi yang Terlupakan dalam Miss Hokusai

REVIEW – Apakah kalian tahu lukisan The Great Wave off Kanagawa? Lukisan ini adalah lukisan tradisional Jepang bergaya ukiyo-e yang sangat terkenal di seluruh dunia, bahkan bisa dibilang ikonik karena menggambarkan pemandangan alam Jepang yang sangat indah dan memukau. Pembuatnya adalah seorang pelukis kenamaan Jepang  bernama Katsushika Hokusai, seorang pelopor lukisan gaya ukiyo-e pada masanya.

Selain The Great Wave off Kanagawa, lukisan-lukisannya yang lain juga banyak yang dikenal orang di seluruh dunia. Akan tetapi, sedikit yang orang ketahui tentang kehidupan pribadinya. Salah satunya adalah tentang anak perempuannya sendiri, Katsushika Oi, atau yang biasa dipanggil O-Ei.

Pada Sabtu (8/12) lalu, saya berkesempatan untuk menonton salah satu film yang ditawarkan dalam Pekan Sinema Jepang yang diprakarsai oleh Japan Foundation, yaitu sebuah film berjudul Miss Hokusai. Secara pribadi, saya sudah menunggu-nunggu film ini untuk dapat tayang di Indonesia, dan sekarang adalah kesempatannya. Saya dengar Miss Hokusai juga banyak mendapat pujian dari para kritikus dunia perfilman, jadi saya juga tertarik untuk menontonnya.

Ada yang unik sebelum film dimulai. Karena Miss Hokusai adalah film festival, maka ada pendahuluan dari salah satu representatif PSJ. Ia, bersama dengan seorang penerjemah, memberi informasi kepada para penonton mengenai film ini, mulai dari latar belakang dibuatnya film ini, sampai sutradara dan para pengisi suara.

Kumpulan Cerita yang Menarik

Saya pikir, film Miss Hokusai adalah film biopik yang akan menceritakan kehidupan O-Ei dari ia lahir, bagaimana perjalanannya menjadi pelukis, dan lain-lain. Rupanya, film ini mengikuti karya aslinya, yaitu manga berjudul sama yang digarap oleh Hinako Sugiura. Dalam manganya, memang tiap bab tidak saling berkesinambungan.

Hanya saja garis besarnya tetap sama, mengikuti lika-liku kehidupan O-Ei menjadi seorang pelukis, sampai caranya berhubungan dengan keluarganya, terlebih dengan ayahnya, Tetsuzo (yang juga dikenal sebagai Hokusai), dan adik tirinya yang masih kecil dan tidak bisa melihat, O-Nao.

Meskipun dihadirkan dalam bentuk kumpulan cerita, bukan berarti film ini jadi tidak menarik. Justru lewat berbagai kepingan cerita pendek tentang momen-momen dalam hidup O-Ei, penonton bisa tahu tentang berbagai tokoh pelukis yang ada dalam hidup O-Ei, sampai karakter O-Ei sebagai seorang wanita mandiri, berjiwa bebas, namun di satu sisi juga penyayang terhadap adik tirinya.

Ia tidak ragu untuk belajar sesuatu yang baru, bahkan jika itu berarti ia harus pergi ke lokasi tempat seorang wanita tidak seharusnya ada, seperti rumah bordil.

Tidak hanya seputar kehidupan O-Ei, film garapan sutradara Keiichi Hara ini juga dengan sukses menggambarkan jiwa seorang pelukis. Baik Hokusai maupun O-Ei bisa “melihat” objek lukisan mereka sendiri di kehidupan sehari-hari, dan bayangan mereka menjadi nyata di film ini. Contohnya, seperti gambar lukisan naga yang dibuat oleh O-Ei. Ia membayangkan naga yang akan dibuat seperti apa, lalu tiba-tiba di luar ada angin ribut. Tak lama kemudian, ada naga yang menyeruak di balik awan-awan hitam. Ini menggambarkan imajinasi seorang pelukis yang kerap kali memikirkan objek lukisannya sampai ia bisa terasa nyata, bahkan, dalam kasus ini, benar-benar nyata.

Waktu di awal, Miss Hokusai juga dijelaskan sebagai film yang mengandung ukiyo-e entertainment. Terbukti di film ini, dimana kadang-kadang ada adegan yang digambarkan seperti lukisan tradisional Jepang bergaya ukiyo-e. Secara tidak langsung, penonton juga jadi tahu soal gaya lukisan tradisional Jepang yang satu ini, dan kadang juga bisa terhibur karena ada juga adegan ukiyo-e yang mengandung unsur komedik.

Tidak untuk Semua Orang

Meskipun begitu, film ini bukan untuk semua orang. Jika kalian tidak menyukai film-film bergaya antologi atau kumpulan film, maka film ini mungkin akan membingungkan kalian, para penonton, atau bisa jadi kurang memuaskan penonton.

Bagian imajinasi objek lukisan yang dibayangkan oleh pelukis, yang kerap kali dijadikan adegan “nyata” di film ini, juga bisa membuat penonton jadi tidak mengerti tentang apa yang sesungguhnya terjadi.

Secara keseluruhan, meskipun ada bagian yang dapat membingungkan penonton, tapi film ini dibawakan secara menarik dan indah, terkadang juga jenaka. Oh ya, ada adegan yang kurang cocok untuk ditonton oleh anak di bawah umur, jadi temani anak atau keponakan Anda jika mereka ingin ikut menonton film ini.

Sebagai info saja, Pekan Sinema Jepang (PSJ) adalah sebuah festival film Jepang yang diprakarsai oleh Japan Foundation selaku lembaga kebudayaan Jepang di Indonesia.

Festival ini diselenggarakan juga lho di Jakarta, yaitu dari tanggal 7 – 16 Desember 2018. Kalau kalian suka film Jepang, boleh lho, mampir ke acara ini. Satu tiket hanya dibandrol seharga Rp 25.000,00 saja! Jadi, tunggu apalagi? Mari datang ke Pekan Sinema Jepang di CGV Blitz Grand Indonesia!


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.