Angel Sign: Ketika Kesunyian Menyampaikan Sebuah Pesan

review film angel sign

Angel Sign, Film antologi garapan lima sutradara yang berasal dari mancanegara. Telah tayang perdana dalam gelaran Japanese Film Festival 2019 di CGV Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (7/11) lalu.

Sebagai film antologi atau omnibus, Angel Sign mempunyai lima buah cerita yang berbeda digabungkan dalam satu film. Dalam film ini, keseluruhan film hanya mengandalkan aspek visual serta scoring tanpa adanya dialog dari para karakter sekalipun.

Selain menyuguhkan film tanpa adanya dialog, film ini juga memperkenalkan keragaman budaya, karena beberapa film bertempat di berbagai belahan dunia. Seperti Indonesia, Thailand, Vietnam dan Jepang.

Cerita-cerita di dalam film ini diadaptasi dari lima cerita yang dipilih dari lebih 6 ribu lebih karya dari 108 negara yang masuk ke dalam Silent Manga Audition di Jepang.

Angel Sign Hadirkan Lima Kisah Berbeda

Bagian pertama dan terakhir dalam antologi ini adalah prologue dan epilogue yang disutradarai oleh Tsukasa Hojo, yang juga sebagai sutradara utama dalam keseluruhan film ini.  Berkisah tentang Aika (Nao Matsuhita), seorang cellist yang kehilangan suaminya, yaitu Takaya (Dean Fujioka). Takaya sendiri adalah seorang pianis, sebelum meninggal dunia, ia meninggalkan komposisi musik dengan judul “Angel Sign” kepada Aika.

Prolog

Disuguhkan dengan prolog yang menggambarkan kepergian Takaya yang sempat membuat Aika putus asa, penonton akan diperas terlebih dahulu emosinya akan kehilangan seseorang yang tercinta. Tekad Aika untuk memainkan komposisi ‘Angel Sign’ seorang diri sempat membuatnya khawatir dan membuatnya terhenti.

Namun, keajaibanpun muncul di mana saat ia tengah melantunkan komposisi tersebut, tiba-tiba saja lantunan Piano Takaya muncul. Mengagetkan, Aika memutuskan berhenti dan melihat sebuah kupu-kupu biru yang hinggap di lembaran melodi tersebut lalu pergi keluar ke dunia yang bebas, dan kupu-kupu tersebut akan menghubungkan berbagai kisah yang ada dalam film ini.

Beginning and Farewell

Kisah kedua adalah Beginning and Farewell yang disutradarai oleh Ken Ochiai, mengkisahkan seorang masinis kereta (Naoto Ogata) yang dihibur oleh anjing peliharaannya (Atom). Bukan tanpa sebab Atom menghibur majikannya. Sebelumnya, sang masinis selalu bersedih karena telah ditinggal oleh istrinya yang membuka kafe di sebuah stasiun kereta. Atom pun mencoba menghibur sang masinis dengan mengajaknya mengenang kisah-kisah lama mereka.

Dengan alur yang cukup tegas, bagian ini penuh dengan drama keluarga suami-istri yang sangat manis namun menyedihkan. Meninggalnya sang istri membuat masinis tersebut kesepian, walaupun ia masih memiliki Atom. Naoto Ogata yang melakoni peran sebagai masinis patut diberi apresiasi yang besar sebab dapat menghadirkan emosi yang cukup dalam mengenai kesendirian seorang masinis kereta di desa antah berantah.

Sky Sky : Letter to The Sky

angel sign sky sky

Sky, Sky garapan Nonzee Nimbutr yang berasal dari Thailand, menjadi cerita ketiga yang disajikan dalam Angel Sign. Mengisahkan seorang anak perempuan (Praewpun Parnyim) yang sedih karena kehilangan anjing peliharaannya. Namun, kedua Ayah (Phiphob Kamolketsophon) dan Ibunya (Boonin Inlueng) mencoba menghibur anaknya tersebut, dengan memberikan surat kecil di layangan yang diterbanginya.

Walau kebanyakan bagian pada film ini cenderung memperlihatkan penonton akan sakitnya kehilangan seseorang, bagian film ini cukup menghibur banyak penonton. Mengapa tidak? Lakon gadis perempuan yang diperankan oleh Praewpun Parnyim cukup membuat hati penonton cukup lega setelah melewati dua bagian sebelumnya, karena ia (Praewpun) memiliki sifat kekanak-kanakan yang sangat menarik penonton. Walaupun emosi seorang anak kecil cukup sepele di mata orang (termasuk orang tuanya di bagian ini), emosi itulah yang penting bagi anak-anak seusianya.

Thirty and a Half Minutes

Cerita selanjutnya adalah Thirty and Half Minutes yang disutradarai oleh Han Tran. Kisah ini berlatar di Vietnam yang mengisahkan hubungan antara keluarga yang menyentuh. Seorang Ibu (Xuan Van) sedang dihadapi kondisi ingin melahirkan. Namun dirinya didatangi oleh malaikut maut yang bertugas untuk mencabut nyawanya. Di sisi lain, sang Ayah (Ngo Quang Tuan) terlihat cemas dari ruang luar operasi.

Memiliki sedikit sisi horor (lebih tepatnya pada bagian malaikat maut), bagian film ini cukup membuat bulu kuduk merinding karena mengingat tiap manusia dapat dicabut nyawanya dalam kondisi apapun termasuk melahirkan. Meskipun demikian, sisi yang mengharukan muncul disaat Xuan Van telah melahirkan dan Ngo Quang Tuan tampak bahagia memegang bayinya.

Bagian film Thirty and a Half Minutes memberikan gambaran kepada kita tentang perjuangan seorang ayah, yang nantinya akan mengemban tugasnya sendiri apabila istrinya tiada setelah melahirkan. Begitu pula dengan ibu, yang ketika tengah melahirkan, dapat mempertaruhkan apa pun termasuk nyawanya sendiri.

Father’s Gift

Father’s Gift menjadi sajian kelima dari isi cerita di film Angel Sign. Garapan Matsasugu Asahi ini kembali berlatar di Jepang. Dengan mengkisahkan hubungan dekat antara ayah dan anak. Film ini menceritakan sang anak (Neennara Boonbithipaisit) yang diberikan hadiah robot oleh ayahnya (Jiro Sato) sebagai penggantii ibunya yang telah meninggal dunia.

Drama Keluarga dalam bagian ini menunjukkan kenyataan manis maupun pahit dari hubungan ayah dan putrinya. Meski demikian, dalam masalah yang muncul di kehidupan ayah dan anak ini, tak ada satupun yang patut kita salahkan sebagai penonton. Karena yang perlu kita ketahui adalah ayah serta anak perlu belajar untuk memberi pengertian satu sama lain demi masa depan yang lebih baik, meski di masa depan salah satu dari mereka harus terpisah karena maut.

Back Home

japanese film festival 2019

Dalam cerita kelima sekaligus yang terakhir, terdapat film garapan sutradara asal Indonesia, Kamilla Andini dengan judul Back Home. Cerita ini mengisahkan seorang ayah (Teuku Rifnu Wikana) yang kembali mencari anak perempuannya (Mikako Yoshida, Abigail) setelah meninggalkannya untuk berperang ketika sang anak masih kecil. Film ini berlatar di Sleman, Yogyakarta dan mengambil setting waktu di era orde baru.

Bagian film yang paling dinanti oleh penonton JFF 2019 adalah Back Home. Penuh momen yang mendebarkan serta surreal (karena latar belakang film yang cukup membuat ngeri), bagian filim ini cukup untuk memberikan pesan politis kepada para penonton mengenai era tersebut. Cukup bagi saya sendiri untuk menyimpulkan bahwa Wikana dalam bagian ini ‘dibunuh’ oleh tentara karena mengeksekusi Tahanan Politik Orde Baru.

Epilog

Bagaimana jika tiap-tiap karakter dalam seluruh bagian film ini bertemu di satu tempat yang sama? Mulai sang masinis hingga anak perempuan yang ditinggal mati ayahnya saat orde baru berkumpul di sebuah bandara di Jepang di saat badai. Mereka disatukan oleh lantunan Cello milik Aika, yang melantunkan melodi dari ‘Angel Sign’.

“Arigatou,” merupakan satu-satunya kata yang muncul dari seluruh bagian film yang ada di Epilog ini. Aika berterima kasih pada sang kupu-kupu biru yang telah menghubungkan semuanya dari berbagai tempat di dunia.

Perlu kalian ketahui bahwa sutradara utama dalam film Angel Sign sendiri adalah mangaka City Hunter yaitu Tsukasa Hojo. Perannya sebagai seorang sutradara merupakan yang pertama kali ia lakukan alias debut. Ia masih perlu untuk belajar membentuk sebuah antologi film yang sempurna dan utuh. Walau demikian, Angel Sign merupakan awal yang baik baginya untuk membuat antologi tersebut.

 


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.