Spider-Man: Into the Spider-Verse aslinya merupakan proyek yang cukup skeptis bagi saya. Maksudnya, Sony telah mengeluarkan dua film Spider-Man di satu dekade terakhir, dan mereka tidak pernah begitu merebut hati masyarakat. CGI boleh realistis, Emma Stone boleh cantik, tetapi ketika ceritanya terlalu edgy, wajar saja kalau kadang The Amazing Spider-Man bikin ill-feel.
Keraguan itu terjawab bahkan ketika credit pembuka. Tampak sekali kalau para pembuat film menaruh banyak semangat di dalam film ini.
Miles dan Lima Spider-Man
Jadi sebenarnya cerita Into the Spider-Verse itu seperti apa, sih? Pada dasarnya, Miles Morales adalah tokoh utama dalam film ini. Sebagai anak SMP yang baru digigit laba-laba super, dia harus mencegah Wilson Fisk alias Kingpin untuk menghancurkan dunia melalui akalnya yang terlalu ambisius. Hal makin diperparah ketika ide dari Fisk ini memunculkan lima Spider-Man dari alam semesta lain, dan bersama mereka, Miles pun menemukan perjalanan pahlawan super yang tidak pernah dialami oleh siapapun.
Membahas soal animasi di film ini tidak bakal ada habisnya. Sony Pictures Animation sebagai studio berhasil menyajikan warna-warni meriah yang menembus batasan di setiap frame-nya. Teknik chromatic abberation yang digembor-gemborkan berhasil menimbulkan kesan komik untuk film ini, dan pencampuran antara gaya animasi 2D dan 3D dapat melakukan apa yang tidak bisa dilakukan dalam animasi pada umumnya. Kita bisa bicara panjang lebar soal animasi, tetapi saya bisa simpulkan dalam satu kalimat: “Beda dan sangat memukau.”
Beberapa unsur cerita di sini memanfaatkan fourth-wall breaking yang dimunculkan di saat-saat ringan seperti saat perkenalan masing-masing Spider-man. Ada beberapa humor referensi budaya pop. Namun karena film ini ditujukan untuk semua umur (rating film ini G), rasanya mereka juga menambahkan unsur slapstick yang ringan di sana-sini seperti ketika Miles mendapatkan pertama kali mendapatkan kekuatannya. Di samping itu, film ini tidak kehabisan ide untuk membuat kita merasakan lebih soal karakter pendukung. Sebagai contoh, interaksi antara Miles dengan pamannya Aaron yang meski 1-2 menit menunjukkan pada kita betapa dekatnya mereka berdua.
Keren, sih, tapi…
Tidak bisa dibilang kalau Into The Spider-verse bakal memanjakan semua penontonnya. Animasi yang terlalu meriah kadang sulit sekali untuk diikuti. Jadinya ketika beberapa detik terlewat tanpa terpaku di layar, kita hanya bisa bilang “hah?”, dan bertanya pada sebelah atas apa yang baru saja kejadian. Itu pun kalau mereka mau ditanyai.
Hadirnya tiga Spider-Man pendukung seperti Peni Parker, Spider-Man Noir, atau Spider-Ham hanya lewat sesaat. Sayang sekali, padahal Nicolas Cage repot-repot hadir menggantikan diri sebagai Spider-Man setelah “sukses” dengan perannya sebagai pahlawan dari neraka, yakni Ghost Rider.
Hal itu bisa ditolerir, mungkin, karena Spider-Verse sendiri sebenarnya adalah awal kisah dari Miles Morales sebagai Spider-Man. Kebanyakan Spider-Man memulai karirnya sendirian tanpa tahu arah jalan. Hanya kebetulan saja Miles beruntung ditemani lima Spider-Man dari alam semesta yang berbeda. Keputusan ini membuat kisah Spider-Verse lebih berbobot dan tidak sekadar pamer cameo, tetapi memiliki fokus pada perjuangan adaptasi sosial dan pendewasaan diri yang harus dijalani tiap orang, baik mereka manusia super atau bukan.
Apresiasi untuk Phil Lord selaku penulis karena selalu bisa menyisipkan sentimental yang membumi di materi antah berantah seperti dunia Lego (The Lego Movie), penemu super culun (Cloudy with a Chance of Meatballs), dan kali ini enam Spider-Man dalam satu layar. Penonton anak-anak akan menemukan Spider-Verse sebagai kisah yang mungkin menginspirasi dan penuh warna, dan remaja adalah kaum yang paling bisa berbagi rasa tentang apa yang Miles alami.
Saya sendiri? Hanya menangis tiga kali, kok. Bukan apa-apa.