Review Film Anime I Want To Eat Your Pancreas

I Want to Eat Your Pancreas
© I Want to Eat Your Pancreas / Yoru Sumino, Idumi Kirihara, m&c!

I Want To Eat Your Pancreas atau yang berjudul asli Kimi no Suizo wo Tabetai, film anime ini merupakan adaptasi dari novel yang mempunyai judul yang sama. Dikarang oleh Sumino Yoru, novel ini merupakan novel debutnya. Telah berhasil mendapatkan banyak penghargaan, seperti “Peringkat Kedua Da Vinci Book of The Year 2015”, “2016 Best Sellers (Buku Sastra) oleh TOHAN”, “2017 Best Sellers oleh Perusahaan Penerbit”, dan masih banyak lagi. Terhitung sampai Mei 2017, di Jepang novel ini sudah terjual sebanyak 1,2 juta kopi. Novel ini sudah diterbitkan di Indonesia oleh Penerbit Haru, pada tahun 2017 dan dicetak ulang di tahun 2018.


Setelah adaptasi film-nya yang kemarin yang ditayangkan di Pekan Sinema Jepang 2018
, film animasinya pun juga ditayangkan di Indonesia. Film animasi ini didistribusikan oleh Encore Films yang bekerjasama dengan Moxienotion. Kamis (20/12) kemarin, diadakan sebuah penayangan khusus di CJ CGV Grand Indonesia. Saat penayangan khusus, banyak yang mengatakan adaptasi ini lebih menarik dibanding dengan film live action-nya. Berdurasi 109 menit, I Want To Eat Your Pancreas akan ditayangkan di bioskop Indonesia mulai 26 Desember 2018.

Lebih Memvisualisasikan Kebanding Menganimasikan

I Want To Eat Your Pancreas 
©Sumino Yoru / Futabasha ©Your Pancreas Anime Film Partners

I Want To Eat Your Pancreas bercerita tentang Aku (Mahiro Takasugi)—murid SMA yang introvert dan kutu buku—yang secara kebetulan menemukan sebuah jurnal harian yang berjudul Cerita Teman si Sakit. Buku itu ternyata milik Sakura Yamauchi (Lynn), teman sekelas si Aku. Buku itu mengatakan bahwa dia menderita penyakit pankreas, dan hidupnya tidak akan lebih lama dari setahun.

Sakura meminta tokoh Aku untuk menjaga rahasia itu. Karena jika kabar tentang Sakura itu tersebar, maka teman-teman Sakura akan panik luar biasa. Hal yang lumrah terjadi sebab Sakura adalah gadis yang populer di sekolah. Aku, lelaki introvert yang kurang peka dalam pergaulan, menyanggupi hal itu, dan karena pertemuan dan rahasia itulah, Sakura dan Aku mulai menjalani petualangan-petualangan kecil bersama, menjalani segala sesuatu yang ingin Sakura lakukan sebelum dia meninggal.

Seperti ulasan sebelumnya, pertama-tama saya akan mengatakan bahwa ulasan ini adalah ulasan dari perspektif orang yang sudah membaca novel atau yang merupakan sumber ceritanya. Saya juga akan membandingkan adaptasi ini dengan adaptasi film-nya sebagai refrensi. Jika adaptasi film-nya lebih bermain dengan ekpresi dan akting, adaptasi animasinya ini bermain dengan visual dan audio. Wow, menurut saya visualisasi yang diberikan oleh anime ini melebihi ekpetasi saya. Walau menurut saya animasinya yang tidak terlalu bagus, tapi latar atau scenery, dan cara mereka mengilustrasikan suatu dialog itu sangatlah indah. Didukung original soundtrack dan lagu yang dinyanyikan oleh sumika, anime ini berhasil membuat saya merinding dan menangis haru. Didukung dengan translasi dari lagu yang dinyanyikan, liriknya begitu indah, kalian mungkin tidak akan mendapatkan hal ini jika hanya menonton di internet.

Adaptasi ini benar-benar mengadaptasi dengan tepat kisah yang disampaikan di novel. Ditambah, mereka benar-benar bermain dengan visual di anime ini. And that was beautiful, sangat indah. Memang cerita drama yang disajikan bisa dibilang standar, sama dengan cerita drama lainnya. Namun pesan yang ingin disampaikan yang membuat kisah ini berbeda dengan yang lainnya. Lagu yang dibawakan sumika benar-benar bagai puisi yang menggambarkan kisah ini. Grup musik yang masih terbilang baru untuk mengisi soundtrack anime ini tidak mengecewakan sama sekali.

Interaksi Karakter Yang Sangat ‘Hidup’

I Want To Eat Your Pancreas 
©Sumino Yoru / Futabasha ©Your Pancreas Anime Film Partners

Adaptasi ini sangat memperhatikan interaksi antar karakter yang ada. Benar-benar dibuat se-natural mungkin seperti di novelnya. Jika di adaptasi film lebih dinamis dan tidak bertele-tele, tapi anime ini dibuat tidak terlalu dramatis. Aksi-reaksi antar karakter digambarkan dengan baik, dan benar-benar mengadaptasi novelnya dengan baik. Karakter dibangun dengan tepat dan tidak terlalu terburu-buru.

Tapi dalam review I Want to Eat Your Pancreas ini, saya masih merasakan formula yang sama seperti adaptasi film-nya. Hal-hal yang berbau tidak penting dihilangkan, mereka tidak mau membuat sebuah lubang plot di cerita ini untuk mengejar jam tayang. Dan formula meningkatkan perkembangan karakter sampingan dengan baik. Tapi tidak seperti film-nya, anime ini malah lebih menggambarkan karakternya dengan baik, walau durasinya lebih pendek dari film. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena di anime mereka tidak menambahkan terlalu banyak ‘bumbu’. Di ulasan film-nya saya mengatakan, kalau film tersebut merupakan ‘pelengkap’. Jika filmnya merupakan pelengkap , anime ini lebih ke ‘rangkuman’ dari novelnya. Tidak terlalu panjang ataupun pendek, tapi pesan yang ingin disampaikan benar-benar tersampaikan.

Didukung juga oleh pengisi suara yang juga merupakan faktor penting dari anime ini. Mahiro Takasugi yang memerankan tokoh utama, Aku, benar-benar ‘serius’ memerankan karakternya. Jika biasanya dia berlaga menjadi karakter adaptasi live action dan tokusatsu, ini adalah kali pertamanya dia memerankan karakter anime. Sedangkan yang menjadi lawan mainnya adalah Lynn yang sudah cukup berpengalaman menjadi seorang seiyuu. Mereka berdua menunjukkan kualitas yang baik dan benar-benar mengekspresikan karakternya dengan baik. Lynn tidak kalah hebat dari Miname Hamabe dalam memerankan Sakura yang cerewet dan atraktif. Dan saya malah lebih suka akting Mahiro Takasugi kebanding Takumi Kitamura saat memerankan sang prontagonis.

I Want To Eat Your Pancreas, Film Adaptasi Yang Sangat Baik

Menurut saya, I Want To Eat Your Pancreas merupakan film anime adaptasi terbaik tahun ini. Saya dapat mengerti pesan yang ingin disampaikan, karena merupakan pembaca novelnya. Namun saya tidak begitu yakin dengan penonton yang tidak membaca novelnya. Saat saya menanyakan kesan pesan mereka tentang film ini, mereka lebih terfokuskan dengan cerita yang diceritakan anime ini. Saya tidak tau apakah yang lainnya juga akan berkata demikian, tergantung sudut pandang dari mereka melihat ke mana.

Dirangkum dengan baik, tidak terlalu banyak bumbu, dan ‘porsinya’ pun sangat pas, tidak kurang dan tidak lebih. Animasi bukanlah kunci dari anime ini, tapi cara mereka mengvisualisasikan kisah inilah yang membuat anime ini menjadi bagus. Lagu yang dibawakan sumika juga menurut saya sangat memberi efek dramatis yang sangat luar biasa. Dan anime ini jangan disamakan dengan anime-anime drama lainnya, memang lumayan standar dengan anime yang sejenis, tapi mengandung impact yang berbeda dari anime-anime lain.

“Sebuah film anime yang mengajarkan sedikit tentang apa arti dari hidup, dari seorang gadis pengidap penyakit pankreas. Memberi tahu kita betapa indahnya hidup, dan apa yang membuat kita hidup.“

 

Itulah review film anime I Want to Eat Your Pancreas. Anda dapat membaca artikel ulasan kami lainnya pada segmen Feature.


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.