Fenomena Shotacon dan Adanya Standar Ganda Pada Pedophilia

Shota
Gambar: animeanime.global

Shota adalah sebuah karakter laki-laki muda yang digambarkan dengan cara yang sugestif atau erotis. Yang biasanya berpasangan dengan sebuah karakter perempuan serta laki-laki dewasa.

Di artikel ini, kami mencoba untuk menganalisa fenomena Shotacon dan adanya standar ganda apabila membandingkannya kepada Lolicon (Seseorang yang memiliki ketertarikan kepada karakter Loli).

Pertama, perlu adanya klarifikasi bahwa artikel ini tidak bermaksud untuk untuk menyerang maupun melegitimasi Shotacon maupun Lolicon.

Namun untuk menyatakan bahwa penggambaran anak di bawah umur secara seksual dan untuk hasrat individu beserta aksi-aksi yang mengikuti merupakan hal yang salah.

Baik itu terhadap anak laki-laki ataupun perempuan yang dilakukan oleh pihak manapun.

Data dari Dunia Nyata

Darkness to Light
Gambar: d2l.org

Menurut data dari organisasi non-profit Darkness to Light, terdapat satu dari tujuh anak perempuan, dan satu dari 25 anak laki-laki yang akan terdampak pelecehan seksual sebelum mereka berumur 18 tahun.

Delapan persen dari korban yang berumur 12 sampai 17 tahun merupakan laki-laki. Serta 26% dari korban yang berada di bawah umur 12 juga laki-laki.

Lebih dari 70% korban laki-laki mencari perawatan psikologis untuk masalah seperti penyalahgunaan narkoba, pikiran untuk bunuh diri, serta percobaan bunuh diri.

Namun kita mungkin berpikir bahwa aksi pelecehan seksual hanya dilakukan oleh orang dewasa, namun nyatanya tidak.

Remaja adalah pelaku dalam 43% serangan terhadap anak-anak di bawah usia enam tahun. Dari pelanggar ini, 14% pelaku berusia di bawah 12 tahun.

Tujuh persen dari remaja yang melakukan aksi pelecehan seksual, disisi lain, merupakan perempuan.

Lalu Apa Hubungannya dengan Shotacon?

Gambar: Japan Travel

Pemaparan data sebelumnya adalah untuk memberikan contoh nyata tentang seberapa besar angka pelecehan seksual yang terjadi terhadap anak khususnya kepada laki-laki.

Hubungannya adalah peran media (khususnya media sosial dan internet) dalam memberikan wawasan kepada para penggunannya.

Argumentasi utama yang kami akan gunakan adalah bahwa penggambaran shota dan normalisasi dari aksi shotacon dalam media akan berpengaruh terhadap probabilitas seseorang untuk melakukan kekerasan seksual terhadap seorang anak di bawah umur.

Kita akan mengacu kepada legalitas dari pornografi anak. Yang bisa terbagi menjadi tiga, yaitu nyata, fiksi, dan kepemilikan.

Faktanya, masih banyak negara yang memberikan legalitas terhadap pornografi anak. Baik itu karena ada atau tidak adanya undang-undang untuk mengatur hal tersebut.

Untuk versi nyata tentu terdapat banyak yang melarang, namun tidak untuk versi fiksi. Salah satunya bahkan seperti Jepang.

Jepang secara eksplisit melindungi pembuatan pornografi fiksi anak (yang termasuk Loli dan Shota) sebagai ‘kegiatan seni dan budaya’ yang terlindungi sebagai kebebasan berekspresi.

Bersama dengan negara-negara lain yang juga melegalkannya, hal ini berkontribusi dalam membuat pengguna internet memiliki kemungkinan untuk tertarik dengan anak di bawah umur dan menuju tahap selanjutnya.

Kata Terakhir

Pada akhirnya, memang aksi pedophilia terhadap anak perempuan jumlahnya lebih tinggi daripada kepada anak laki-laki.

Namun jangan sampai hal ini membuat kita lengah bahwa anak laki-laki pun juga manusia. Yang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari pelecehan seksual.

Fenomena yang dilakukan oleh para Shotacon seharusnya mendapat kecaman yang sama tidak terpengaruhi oleh tampang dan fisik mereka.


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.