Humba Dreams: Sebuah Refleksi dari Permasalahan di Tanah Sumba

Di hari terakhir gelaran Japanese Film Festival 2019 di Jakarta, Minggu (10/11), ada satu-satunya film Indonesia yang dihimpit oleh film Jepang lainnya. Yaitu Humba Dreams, film garapan Riri Riza yang berhasil menyabet penghargaan CJ Entertainment Award di Asian Project Market (APM) Busan International Film Festival pada tahun 2017.

Selain itu, film ini adalah film Indonesia pertama yang ditayangkan dalam gelaran Japanese Film Festival. Setelah sebelumnya belum ada satupun film Indonesia yang masuk ke dalam penayangan di salah satu event festival film Jepang terbesar di Indonesia tersebut.

Film yang diprakarsai oleh Miles Films ini berlatar di Sumba, sebuah pulau di Nusa Tenggara Timur. Orang-orang di sana mempunyai panggilan khusus dalam menyebut Sumba, yaitu Humba. Oleh karena itu film ini dinamai Humba Dreams.

“Humba itu panggilan orang Sumba terhadap mereka sendiri,” ungkap Riri Riza dalam post talk film Humba Dreams yang digelar di JFF 2019.

Humba Dreams sendiri merupakan catatan-catatan kecil yang dibuat oleh Riri Riza tentang keseharian masyarakat Sumba, terutama di Sumba Timur. Di mana saat dirinya sedang berada di Sumba untuk syuting film aksi seni bela diri Pendekar Tongkat Emas di wilayah tersebut. Selama berada di sana, Riri menyadari bahwa Sumba, selain memiliki pemandangan yang menakjubkan, juga memiliki berbagai macam problem sosial.

Humba Dreams Angkat Isu Sosial Masyarakat Sumba

Film ini mengangkat isu tersebut lewat sudut pandang Martin (JS Khairen). Seorang mahasiswa yang berasal dari Sumba yang sedang menyelesaikan studi filmnya di Jakarta. Suatu hari, ibunya mengatakan kepadanya untuk kembali ke Sumba untuk menangani masalah keluarga. Dia kemudian dipertemukan seorang tokoh spiritual di Sumba yanh menerima pesan dari roh almarhum ayah Martin. Ayah Martin, menurut tokoh tersebut meminta Martin untuk membuka warisan yang berupa kotak penyimpanan ayahnya.

Isi kotak tersebut terdapat kamera video, dan film buatan ayahnya yang harus ditonton oleh orang-orang di desa. Sesuai dengan pesan dari ayah Martin. Martin harus menemukan bahan kimia untuk mencuci film agar bisa ditonton. Selama pencariannya, Martin bertemu dan jatuh cinta dengan seorang wanita yang sudah menikah bernama Anna (Ully Triani).

Humba Dreams

Gambaran yang dihadirkan dalam film yang berdurasi 77 menit ini, menampilkan sisi Sumba yang memiliki beragam isu sosial. Dari banyaknya anggota keluarga yang hilang, kemiskinan, kepercayaan, hingga kurangnya infrastruktur yang memadai di tanah Sumba.

Dalam film ini, Riri Riza begitu baik menggambarkan isu-isu yang dimiliki oleh masyarakat Sumba lewat sinematografi film Humba Dreams. Dalam film ini, penonton dituntut untuk mengeksplor imajinasinya sendiri untuk mendapatkan pesan yang ditawarkan film.

Tapi bisa dikatakan, dua pesan utama yang terdapat di Humba Dreams, yaitu adalah pengenalan budaya, dan refleksi terhadap keadaan masyarakat di Sumba sana.

Nah bagi NawaReaders yang ingin menonton Humba Dreams. Film ini masih bisa disaksikan dalam gelaran Japanese Film Festival 2019 di empat kota lainnya selain Jakarta. Yaitu di Yogyakarta, Surabaya, Makassar dan Bandung.

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan akses situs Japanese Film Festival 2019 melalui link berikut untuk mengetahui jadwal film ini di kota lainnya.


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.