[REVIEW FILM] Mary And The Witch’s Flower

REVIEW – Pada hari kedua (08/12) gelaran Pekan Sinema Jepang 2018 yang diadakan di CGV Cinemas Grand Indonesia, saya berkesempatan untuk menyaksikan film Mary And The Witch’s Flower (Meari to Majo no Hana / メアリと魔女の花) karya sutradara Hiromasa Yonebayashi dari Studio Ponoc (Kabushiki-gaisha Sutajio Ponokku / 株式会社スタジオポノック).

Film yang didistribusikan Nippon Television Network ini menyajikan cerita dengan ‘bumbu’ cerita yang serupa dengan yang dimiliki Studio Ghibli. Wajar saja film ini memiliki ‘bumbu’ serupa, sebab film ini diproduksi oleh para pentolan dari Studio Ghibli yang kini berada di Studio Ponoc.

Tanpa basa-basi, saya bersemangat menonton film ini di seat M-17 Joy Audi. Ekspektasi saya awalnya sangatlah tinggi. Mengingat karya milik Yonebayashi sebelum film ini yaitu When Marnie Was There sangatlah menarik perhatian saya, jadi saya sempat berpikiran bahwa karya yang ia sutradarai kali ini akan sangat bagus.

Awal Mula Cerita Mary And The Witch’s Flower

Film Mary And The Witch’s Flower dimulai dengan ledakan besar di sebuah tempat antah berantah. Seorang gadis cilik mencuri sekantung benda bercahaya yang diketahui sebagai sekuntum bunga. Gadis itu kemudian melarikan diri dari tempat yang masih terbakar akibat ledakan tadi, dan dikejar oleh sejumlah ‘benda’ aneh hingga akhirnya ia terjatuh kedalam sebuah hutan. Rambut gadis tersebut yang awalnya berwarna oranye berubah menjadi ungu keputihan.

Pandangan kita berpindah ke karakter Mary, yang tinggal disebuah rumah yang ternyata dimiliki oleh Bibi Charlotte. Disana ia tinggal bersama seorang tukang kebun dan juga asisten rumah tangga.

Mary digambarkan sebagai anak -yang saya rasa- ceroboh. Ia ingin membantu, tetapi selalu saja ia membuat kesalahan. Tidak lama, ia bertemu dengan anak laki-laki rupawan bernama Peter. Pada awalnya, Mary merasa ‘kesal’ dengan Peter lantaran ia diejek karena penampilannya yang mirip seekor Kera. Love-hate relationship antara mereka berdua pun dimulai.

Bertemu dengan seekor (yang pada akhirnya merupakan dua ekor) kucing, Mary di arahkan ke sebuah hutan gersang dan menemukan bunga ‘fly-by-night’ atau ‘Bunga Penyihir’ dan karena ia tertarik dengan bunga itu, ia langsung memetiknya dan membawanya pulang.

Pada suatu saat, Mary diminta oleh Bibi Charlotte untuk mengirim selai ke Peter, orang yang ia benci saat itu. Pada saat pulang, ia pergi ke hutan yang berkabut dan menghiraukan ujaran Peter mengenai bahaya yang akan mendatangi ia apabila ia memasuki hutan pada saat berkabut.

Memasuki hutan, ia bertemu dengan salah satu kucing yang sebelumnya ia temui yaitu Tib. Tib mengarahkan gadis itu ke sebuah pohon yang terdapat sebuah sapu terbang. Kucing tersebut lalu melemparkan bunga tersebut kepada Mary, yang setelah ia tangkap pecah dan berubah bentuk seperti jeli berwarna biru.

Dengan tangannya yang tiba-tiba bercahaya tersebut, Mary dapat mengendarai sapu tersebut walaupun dalam kondisi tidak stabil hingga membawanya ke Endor College, kampus khusus penyihir terbaik. Tapi sebelum itu, ia bertemu dengan rakun bernama Flannagan. Flannagan membawa gadis ini kedepan pintu Endor College. Tak lama, gadis tersebut bertemu dengan Madam Mumblechook dan Dokter Dee yang memperkenalkan ia tentang kampus tersebut.

‘Hampir Terciduk’

Mary and the Witch’s Flower
© 2017M.F.P. . / JAPANESE FILM FESTIVAL 2018 INDONESIA

Mary hampir keceplosan memiliki bunga itu pada saat Madam Mumblechook memberikannya formulir pendaftaran, ia juga sempat mengambil buku mantra dari ruangan milik Madam. Sayangnya, untuk mengelak bahwa ia memiliki bunga tersebut, ia berbohong dengan mengatakan bahwa Peter yang sebenarnya memiliki bunga tersebut, dan setidaknya ia selamat dari pertanyaan Madam.

Tapi siapa sangka, akibat kebohongannya tadi Peter malah menghilang alias diculik oleh Madam Mumblechook. Gadis berambut oranye berkuncir dua itu di-ultimatum oleh Madam untuk menyerahkan Bunga Penyihir tersebut kepadanya, atau Peter akan di-‘kutuk’.

Tentu saja gadis tersebut mau menuruti perkataan nyonya tua pemilik kampus tersebut. Gadis itu merasa bersalah karena berbohong mengenai bunga itu dan juga soal Peter.

Sekelopak bunga tersebut sempat terjatuh di rumah Bibi Charlotte tanpa ia sadari. Dan pada saat Bibi Charlotte mengetahui bahwa ada bunga tersebut di rumahnya, ia menyadari bahwa Mary akan terlibat masalah yang cukup besar.

Mary membawa bunga tersebut ke kampus itu. Namun sayangnya, bunga tersebut diambil oleh Madam, dan Mary disekap di ruang penyimpanan ‘eksperimen’ kampus tersebut, dan yang mengagetkan kembali ia bertemu dengan Peter, Gib dan Tib (kedua kucing yang ia temui sebelumnya).

Berbekal sedikit kekuatan yang masih dimilikinya, Mary melepaskan semua mantra ke semua hewan yang disihir oleh Endor College dan juga menghancurkan mantra segel pintu tersebut.

Sayang, Peter tertangkap kembali dan dijadikan eksperimen utama oleh Madam dan Doktor Dee. Mary pun akhirnya pergi, tapi tujuan sapu yang ia kendarai berbeda dari arah ia berangkat. Ia malah tiba disebuah rumah di pulau kecil antah berantah.

Disana, ia akhirnya mengetahui bahwa selama ini Bibi Charlotte adalah seorang penyihir. Dan Bibi Charlotte punya alasan tersendiri mengapa ia mencuri bunga tersebut. Bibi Charlotte akhirnya menyuruh Mary untuk kembali, namun ia menolak. Sebab, ia ingin tetap pulang bersama Peter apapun caranya.

Akhir cerita menjelaskan bagaimana Mary menyelamatkan Peter, serta mengakhiri eksperimen dua orang antagonis tersebut.

Pendapat Saya

Film yang diproduseri oleh Yoshiaki Nishimura ini memang menarik secara artistik. Film ini setidaknya dapat meringankan kerinduan saya akan film Studio Ghibli, sebab, artistiknya sangatlah serupa. 

Tetapi untuk cerita yang di hadirkan, saya rasa kurang cukup dan bahkan memiliki sedikit flaw yang tidak mereka ‘tambal’. Sejumlah karakter seperti Flannagan berpotensi menjadi karakter pembantu yang menarik perhatian penonton, namun sayangnya, mereka tidak memberikan potensi tersebut kepada karakter ini.

Jujur saja, menurut saya ini adalah film Harry Potter yang dicampur nuansa film Laputa: Castle In The Sky. Endor College, Anak yang tinggal dirumah tanpa orang tuanya, unsur magis-fantasi, juga karakter protagonis yang langsung berubah menjadi antagonis, itu semua terasa sekali. ‘Bumbu’ cerita ini sudah pernah saya lihat, dan saya rasa ini terlalu ‘basi’ untuk ditampilkan kembali.

Akhir cerita film Mary And The Witch’s Flower ini juga tidak menjelaskan resolve pada saat Mary kembali pulang bersama Peter. Tidak ada reaksi yang bisa membuat penonton ‘terharu’ di akhir cerita. Padahal akhir cerita ini memiliki potensi untuk membuat penonton lebih merasa bahagia. Tetapi sekali lagi, Ponoc gagal mengembangkan potensi tersebut.

Verdict

Cerita yang disadur dari novel The Little Broomstick karya Mary Stewart ini berhasil diangkat oleh Studio Ponoc dengan menarik dan setidaknya diringkas menjadi ringan dan nyaman untuk disaksikan untuk segala usia.

Namun kembali lagi, anda harus siap menerima ‘kondisi’ cerita yang dihadirkan dalam film ini. 

Berdasarkan jadwal penayangan film di website Pekan Sinema Jepang 2018, film ini dapat anda tonton kembali pada hari Minggu, tanggal 16 Desember 2018 di CGV Grand Indonesia. Dan saya rekomendasikan anda untuk membeli tiketnya lebih awal agar tidak keteteran saat seat semakin sedikit.


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.