Serba – Serbi Sinetron Religi : “Adegan Nirnalar, Bikin Gusar, Tapi Banyak Penggemar”

Sepulangnya saya dari kantor dan langsung berbaring di kamar, adalah sebuah kebiasaan rutin saya setiap hari dengan membuka linimasa Facebook. Dan sebuah laman penggemar bernama “Kemaslahatan FTV Religi” menampilkan potongan cuplikan gambar diam yang menjelaskan adegan jenazah yang tercebur ke sungai lalu menjadi santapan buaya yang sedang terlelap tidur.

Apakah itu jenazah sungguhan? Seribu sayang, bukan. Buaya hanya memakan daging ayam yang dibungkus kain kafan. Atau mungkin itu busa. Malangnya nasib buaya, yang jadi eksploitasi kru rumah produksi yang kalap dengan menggarap sinetron religi. Tiap hari, bahkan tiap jam, judulnya bisa berbeda dan makin nyeleneh alias tidak masuk akal.

Kemarin, kisah Jenazah seorang pedagang tahu bulat yang liang lahatnya mengeluarkan minyak jelantah dan asap, bahkan sebelum dikisahkan meninggal, wajah pedagang tersebut tergoreng bersama wajan berisi minyak dan adonan tahu bulat.  Beberapa jam kemudian, jenazah tercebur sungai dan menjadi makanan buaya. Besok apa lagi judul yang akan ditampilkan? Jenazah tercebur ke kuali dan jadi rendang atau dodol?

Menjelang penutupan tahun 2018 yang tinggal beberapa bulan lagi, tren sinetron religi di stasiun televisi kembali marak. Tidak tanggung-tanggung, judul yang dipasang pun tak ubahnya seperti membaca koran kuning yang dijajakan di lampu lalu lintas persimpangan jalan ibu kota.

Lain judul, lain pada adegan. Bagi sebagian orang, adegannya sudah termasuk kategori nirnalar. Sekalipun dalam tayangan tertulis “Seluruh adegan hanyalah fiktif belaka“, namun dalam benak pasti bertanya – tanya, “benarkah jenazah bisa masuk adonan semen dan terkena hujan meteor?”

EDITOR’S NOTE: Bagi kebanyakan warganet, pasti mengira bahwa cuplikan video diatas merupakan asli dari siaran di televisi Jepang. Sayangnya, video tersebut hanyalah modifikasi buatan Ravan Axent.

Sinetron Religi Di Awal Era Milenium

Alih-alih untuk menyampaikan pesan moral pada masyarakat, tayangan sinetron religi justru jadi bulan – bulanan pemirsa, tak terkecuali pemeran di dalamnya. Dan pemirsa sinetron religi ini bukan hanya berasal dari Indonesia saja. Negara tetangga seperti Malaysia pun ikut memuji dan beberapa stasiun televisi lokal di sana membeli sinetron religi dari Indonesia.

Contohnya saja Hidayah yang terkenal di era tahun 2004-2005an. Sinetron ini diproduksi oleh MD Entertainment dan pernah menayang di layar gelas Trans TV. Lalu, sinetron ini ditayang ulang di Malaysia dan sempat menghebohkan warga di sana. Berbagai judul yang disajikan lebih mengarah pada persoalan penyimpangan di mata masyarakat. Dan kebanyakan mengarah pada hal berbau seksual, sehingga lebih mudah bagi pemirsa untuk mengerti alurnya. Namun sayangnya, kehadiran sinetron religi seperti Hidayah justru melegitimasi masyarakat untuk memperlakukan jenazah sesuai dengan apa yang dilakukan semasa hidupnya. Kalau baik ya diantar sampai prosesi pemakaman selesai. Kalau buruk, ya bisa dilihat pada alur sinetronnya. Kalau tidak dijelek-jelekkan, ya enggan untuk menyelesaikan prosesi pemakaman

Dan perlu diketahui, baik masyarakat Indonesia maupun Malaysia, hampir dipastikan masih terlalu mengagungkan fanatisme keyakinan sebagai langkah untuk menghakimi orang yang tidak pada jalurnya; atau tidak sesuai dengan idealisme keyakinannya. Terkadang, cara penyampaiannya bersifat menghasut, menghakimi, hingga berbuat kurang etis dengan mengatasnamakan penegakkan moral. Sebut saja adegan prostitusi, atau kriminalitas jalanan. Sehingga, kehadiran sinetron religi ini, meski adegannya nirnalar dan membuat gusar, namun digemari oleh pemirsa sebagai alternatif hiburan

Dan dalam hal ini,  pemirsa dituntut untuk berpikir secara kritis, termasuk dengan tidak usilan dengan orang lain. Dalam adegan sinetron religi, pemeran antagonis selalu saja digunjing oleh tetangga sekitar “Eh, lihat si anu. judes, jahat, sombong, biarin saja jenazahnya bau busuk”. Tentu bagi yang terpaku pada pemeran antagonis, adegan si tetangga diabaikan. Tapi bagi saya, ini ketidakadilan. Baik si pemeran antagonis maupun orang yang menggunjingnya, sama – sama menjadi masalah dan akan terus berulang setiap harinya dalam episode dan judul sinetron religi di kemudian hari.

Pernahkah kalian membayangkan jika pada saat mengantar jenazah yang semasa hidupnya membuat onar, lalu digunjing sama pengantar? “Duh, ini bau busuk. Ini pasti semasa hidupnya berbuat onar”. Bagi saya, ini keliru. Mengungkit keburukan orang yang sudah meninggal adalah perbuatan tidak terpuji dan kontra dengan empati. Pada intinya, sinetron religi sama sekali tidak menyampaikan pesan moral pada pemirsanya. Dan akan menciptakan stigma baru. Yaitu jenazah yang buruk tidak usah diperlakukan manusiawi.

Saya masih ingat, ketika Shutan Bhatoegana yang wafat 19 November 2016 dan pada saat dimakamkan, sedang hujan lebat disertai angin kencang. Tenda terpal pun berterbangan, liang lahat terisi dengan air hujan. Fatalnya, banyak yang menganggap ini sebagai azab dari Tuhan. Padahal saat itu wilayah Depok memang sudah masuk musim penghujan dan BMKG memprediksi dua hari sebelumnya. Tapi sayang, masyarakat kita sudah menjadi korban sinetron religi. Mudah mendoakan keburukan orang, sekalipun sudah meninggal dunia. Almarhum yang merupakan terpidana kasus korupsi APBN 2013, seakan menjadi puncak dari kekesalan masyarakat yang menurutnya pantas jika almarhum mendapatkan ganjaran setimpal. Tuhan yang berkuasa, manusia justru yang ribut duluan, maka itulah mengapa, sinetron religi sudah dianggap “Tuhan”. baik secara kacamata televisi dengan porsi rating dan share meningkat, juga dianggap sebagai polisi moral yang amat “ampuh”

Belum usai urusan Shutan Bhatoegana, pemeran antagonis pun kena getahnya. Yana Zein, yang wafat 1 Juni 2017 lalu, memantik kembali pikiran masyarakat ala sinetron religi. Masyarakat menganggap Yana Zein pantas menerima getahnya. Julia Perez, yang meninggal selang 10 hari setelah Yana Zein, juga ikut kena cibiran masyarakat. Ini artinya, sinetron religi hanya membuat pemirsanya memosisikan diri sebagai Tuhan. Dan bukan sebagai penggugur dosa dengan mengurangi sikap buruknya.

Kini, pembuatan sinetron religi tidak lagu berdasarkan brainstorming kru, internal, dan produser. Indosiar contohnya. Beberapa bulan lalu, stasiun televisi yang kini dimiliki oleh keluarga Sariaatmadja melalui Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) ini membuka kesempatan kepada publik untuk menulis judul yang diinginkan, pada Laman media sosial Indosiar. Hasilnya, tidak sedikit yang akhirnya diangkat sebagai judul sinetron religi dalam acara sinetron religi. Yang terbaru, sinetron religi di Indosiar berjudul Azab.  Tidak mau ketinggalan, MNCTV juga mengambil bagian dari fenomena ini dengan menayangkan sinetron religi berjudul Dzolim. Laiknya sebuah porsi makanan, sinetron religi dikemas dengan adegan tragis berkali lipat. Seakan bahwa kekuasaan Tuhan terhadap orang yang sudah meninggal dunia ditentukan berdasarkan daya khayal tingkat tinggi sang kreator yang terindikasi seperti kucing yang menghirup catnip; melayang tanpa kendali

Judul yang telah diseleksi, ujung-ujungnya tetap dikemas sama. kondisi jenazah selalu berakhir tragis. Adegan terakhir ini kerap kali melegitimasi masyarakat dalam memperlakukan jenazah sesuai riwayat hidup si jenazah. Juga menjadi penentu bahwa jenazah orang yang selalu berbuat onar, tidak pantas diperlakukan layaknya jenazah.

Efek sinetron religi juga berimbas pada panasnya suhu politik. 2017 lalu, sebuah kampanye negatif dalam rangka Pilkada DKI Jakarta yang berisi larangan mengurus jenazah yang memilih salah satu pasangan calon gubernur DKI Jakarta, telah menggemparkan masyarakat. Masyarakat kian gusar dengan dampak tersebut . Artinya, masyarakat sudah bisa memerankan tokoh antagonis di dunia nyata. Tapi sayang, semua seakan menutup mata. Padahal, ini termasuk kategori kejahatan dan aparat kepolisian berhak menyelidiki kasus ini sampai menangkap provokatornya.

Viralnya Sinetron Religi, Ditanggapi dan Dipelajari KPI

Mengutip dari laman kompas.com berjudul “Sinetron Azab Ramai Jadi Tayangan di Televisi, Ini Tanggapan KPI”, Komisioner Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Mayong Suryo Laksono mengatakan, pihaknya mengaku telah menerima sejumlah aduan terkait program televisi yang menayangkan konten azab akhir-akhir ini.

“Kami menerima sejumlah aduan dari masyarakat. Kemudian kami bahas dan kami rujukkan dengan aturan dan panduan penyiaran, yakni P3 (Pedoman Perilaku Penyiaran) dan SPS (Standar Program Siaran),” kata Mayong, saat dihubungi Kompas.com, Senin (8/10/2018)

Komisi Penyiaran Indonesia, sebagai lembaga otoritas penyiaran di negara ini, sudah saatnya untuk melakukan antisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan dari sinetron religi nirnalar. Kalau sinetron religi selalu dikaitkan dengan urusan jenazah yang kena azab, lalu kapan masyarakat dapat menerima sebuah tayangan yang dapat menyejukkan nurani serta psikis mereka tanpa harus ditakuti dengan adegan nirnalar ? Apakah saat ini produser dan kru tidak bisa memikirkan konsep sinetron yang ramah pemirsa seperti Lorong Waktu, Para Pencari Tuhan, atau Wali Songo ?

Jenazah tercebur empang, jenazah dimakan binatang buas, jenazah berasap, jenazah tertimpa meteor, liang lahat meledak, dan aneka judul nirnalar, tidak lagi bisa dianggap sebagai hiburan, jika dampaknya tidak bisa dipertanggungjawabkan atau justru menjadi pembenaran kalau seseorang yang berbuat onar, jenazahnya layak untuk diperlakukan seenaknya. Hal seperti itu tentu sudah melangkahi Tuhan, dan bahkan masyarakat sendiri yang telah menciptakan sinetron religi di kehidupannya. Dan diharapkan, sinetron religi di kemudian hari tidak lagi berfokus pada keburukan jenazah, melainkan pada dasar hidup manusia yang seperlunya membutuhkan bimbangan agar dapat kembali ke jalan yang dibenarkan.


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.