[REVIEW FILM] Alita: Battle Angel, Mencari Jati Diri di Iron City

Alita: Battle Angel, buah karya James Cameron yang mengadaptasi manga Gunmm (dikenal juga dengan Battle Angel Alita) yang terluntang-lantung nasibnya sejak pertama diumumkan 2003 lalu akhirnya rampung juga setelah melalui berbagai proses produksi dan lewat bantuan sutradara Robert Rodriguez (Spy Kids, Sin City, Machete.)

Lantas, setelah 16 tahun dalam masa produksi, akankah film Alita mampu menjadi sebuah adaptasi manga yang benar-benar memuaskan tak hanya bagi Hollywood namun juga bagi penggemar manganya?

Plot Yang Tak Asing

Alita, si cyborg jelita nan perkasa (source: Rogue Planet)

Dr. Dyson Ido (Christoph Waltz), seorang insinyur di Iron City pergi ke “Scrapyard”, sebuah tempat pembuangan dari kota langit bernama Zalem. Di sana, ia menemukan sebuah potongan tubuh cyborg yang kemudian dibawanya pulang.

Setelah diperbaiki dan diberi tubuh baru, dinamailah cyborg itu Alita (Rosa Salazar), sesuai dengan nama anak perempuannya yang telah meninggal. Alita sendiri terbangun tanpa memiliki ingatan apapun.

Lewat bantuan Dr. Ido dan teman barunya Hugo (Keean Johnson), Alita kemudian perlahan mengingat siapa dirinya sebenarnya dan mulai mengingat masa lalunya yang ternyata lebih dari sekadar seorang gadis remaja biasa.

Plot tersebut tampak simpel dan mungkin sudah banyak kita jumpai di film-film bertema cyberpunk atau dystopian lain. Tak akan membuat Anda kesulitan mencerna jalan ceritanya bagi Anda yang mungkin tak tahu kalau film ini adalah adaptasi dari manga. Tanpa menonton anime atau membaca manganya pun, Anda akan sangat menikmati film ini lewat suguhan lain yang ditawarkannya.

Visual Asyik, Akting Apik

Yang langsung menarik perhatian adalah bagaimana teknologi dari WETA Workshop mampu menciptakan sebuah dunia yang benar-benar indah dan menarik lewat teknologi CGInya.

https://www.youtube.com/watch?v=hOMuRopLgxg

Detail bangunan, lansekap, hingga berbagai tokoh yang hadir membuat film ini tampak nyata dan sangat memikat mata.

Tak salah jika James memutuskan untuk menggarap Avatar terlebih dahulu yang dianggapnya sebagai “uji coba” teknologi yang digunakan untuk film ini.

Pemanja mata yang lain juga hadir dalam bentuk koreografi laga yang benar-benar indah. Teknik Panzer Kuntz milik Alita mampu ditranslasikan dengan baik lewat motion capture.

Permainan Motorball yang mencuri perhatian (source: Slash Film)

Walau beberapa adegan laga di film ini nampak terinspirasi dari film-film lain, contohnya permainan Motorball yang jelas terinspirasi dari film Rollerball (1974), namun Anda tidak akan kecewa dengan berbagai aksi laga yang ada di film ini.

Akting di film ini juga tampil cukup baik. Rosa Salazar mampu menjadi Alita si malaikat tempur yang bertubuh kuat namun tetap polos layaknya gadis remaja yang baru tumbuh dewasa.

Alita adalah anak bagi Dr. Ido (source: BookMyShow)

Hubungan ayah-anak Dr. Ido dan Alita juga sangat menyenangkan untuk disimak. Penampilan Christoph Waltz di sini entah mengapa membuat saya jadi teringat dengan penampilannya sebagai Dr. King Schultz di film Django Unchained.

Secara hubungan, Dr. Ido dan Alita mirip-mirip dengan hubungan Dr. King dan Django. Bahkan keduanya pun sama-sama menjadi seorang bounty hunter walau motivasinya berbeda.

Kalau Django jadi bounty hunter demi menemukan istrinya, maka Alita menjadi “hunter-warrior” karena marah tak diizinkan untuk mengganti tubuhnya dengan tubuh aslinya dan ingin membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pejuang.

Terlalu Menye-Menye Bikin Cerita Jadi Memble

Alita & Hugo
Jatuh cinta boleh saja, tapi ini film laga (source: BookMyShow)

Masalah terbesar film ini justru adalah di porsi kisah cinta Alita dan Hugo yang menurut saya terlalu besar.

Memang, rasa cinta Alita yang tulus dan polos, bahkan terhadap seekor anjing (ini membuat saya jadi teringat John Wick,) menandakan bahwa dirinya bukan hanya sebuah robot yang tak punya rasa belas kasihan namun juga memiliki sisi humanis yang besar. Akan tetapi, hampir di sepertiga paruh terakhir film, kisah cinta Alita dan Hugo ini malah makin mendominasi.

Andai saja kisah Alita-Hugo ini porsinya dikurangi, saya yakin tak banyak yang akan mempermasalahkan ceritanya. Lagi pula, ini adalah film laga jadi tentunya cerita bukanlah hal utama yang akan diperhatikan oleh penonton.

Oh iya, pelbagai karakter minor yang diperankan oleh artis sekaliber Mahershala Ali, Eiza Gonzales, dan Ed Skrein bagi saya hanya jadi pelengkap dan tak memberikan kesan apapun. Begitu pun dengan scoring buatan Junkie XL yang seolah hanya jadi pelengkap agar film jadi tak sepi. Tak spesial.

Komik Battle Angel Alita sendiri memiliki sekuel lain yang kemungkinan besar akan diadaptasi juga menjadi film entah beberapa puluh tahun lagi. Jadi kalau film ini disiapkan jadi prekuel, saya bisa mengerti.

Namun, saya kecewa berat dengan endingnya. Saya tak ingin memberikan spoiler, tapi yang jelas saya merasa dikhianati oleh ending film ini yang seolah ingin memberi klimaks yang epik namun ternyata putus di tengah jalan demi sekuel.

Benar-benar membuat saya kesal dan bahkan ketika keluar dari bioskop, saya sempat mendoakan agar film ini tak laku. Biar saja sekuelnya tak muncul jadi semua orang ikut kecewa bersama saya.

Kesimpulan

Kira-kira beginilah wajah saya setelah menyaksikan ending dari Alita: Battle Angel (source: TechnoBuffalo)

Mengadaptasi karya tulis atau komik menjadi sebuah film, nampaknya kini menjadi tren terutama di Hollywood. Banyak yang sukses menjadi adaptasi yang baik, banyak pula yang gagal memenuhi ekspektasi.

Selain video game, manga atau anime juga dianggap salah satu karya yang cukup sulit diadaptasi ke dalam bentuk film, terutama menyesuaikan pasar Hollywood.

Yang terbaru, Ghost in the Shell dan Death Note. Kedua film yang hadir 2017 ini walau mendapat pujian lewat akting dan visualisasi apik, namun tetap dianggap gagal menjadi sebuah adaptasi yang baik dari materialnya.

Alita: Battle Angel menjadi bukti bahwa Hollywood akhirnya mampu mengadaptasi sebuah manga menjadi sebuah film box office yang mampu memuaskan penonton awam, ataupun para penggemar manganya.

Terlepas dari berbagai kekurangan yang dimilikinya, Alita tetaplah sebuah film popcorn flick yang menyenangkan.

Kalau ada di kota Anda, saya akan sangat merekomendasikan Anda untuk menyaksikannya di IMAX 3D. Bagi saya, inilah cara terbaik untuk menikmatinya.

Saya sendiri akhirnya menyesali doa saya dan walaupun masih sedikit sakit hati, saya sendiri mungkin akan menontonnya lagi atau menunggu sekuelnya yang entah kapan keluarnya.


Terima kasih telah membaca artikel Nawala Karsa. Artikel ini kami buat sepenuh hati untuk para pembaca, termasuk kamu!

Dukung Nawala Karsa sebagai media berita independen dan terpercaya kamu dengan memberikan tip melalui Sociabuzz Tribe milik Ayukawa Media. Untuk mengirimkan tip, kamu dapat membuka pranala berikut pranala berikut.